3.045 BABI MATI, AKAN DIANGGARKAN UNTUK GANTI RUGI

Rapat Komisi II DPRD Bali dengan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Bali

DENPASAR – Hingga 10 Maret 2020, sebanyai 3.045 babi mati di sejumlah daerah di Bali. Itu terungkap dalam pertemuan antara Komisi II DPRD Bali dengan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali. Pertemuan untuk meminta penjelasan terkait banyaknya babi mati. DPRD Bali berencana akan menganggarkan untuk memberikan ganti rugi bagi peternak yang babinya mati.

Pertemuan dipimpin Ketua Komisi II DPRD Provinsi Bali, Ida Gede Komang Kresna Budi. Dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali hadir Kabid Peternakan, Dr. drh. IKG Nata Kesuma.

“Ini (petermuan-red) untuk menjawab kegalauan masyarakat, khususnya peternak. Bahwa sebenarnya Dinas Pertanian sudah melakukan tupoksi. Cuma pemberian informasi yang kurang. Karena itu kami harapkan Dinas Pertanian melalui stakeholder desa adat maupun PPL supaya menjelaskan kepada peternak kita,” jelasnya.

Kresna Budi mengatakan, pertemuan itu untuk koordinasi. Jangan sampai muncul berita-berita simpang siur. Sebab, Bali sudah jatuh karena kasus corona lantas tertimpa tangga lagi dengan kasus flu babi.

Ia juga berjanji akan menganggarkan untuk ganti rugi peternak yang babinya mati. “Kita mencoba nanti menganggarkan untuk peternak-peternak yang tertimpa musibah akan kita ganti dalam bentuk yang lain. Sebab, untuk babi ternyata tidak ada asuransinya,” katanya.

Sementara Kabid Peternakan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali, Nata Kesuma menjelaskan, merebaknya kasus kematian ternak babi dalam waktu 2 (dua) bulan terakhir pada beberapa lokasi peternakan di wilayah Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Tabanan, Gianyar, Bangli, Karangasem dan Buleleng menunjukkan adanya peningkatan patogenitas kuman yang disebabkan karena lingkungan di sekitar kandang kurang sehat. Atau kemungkinan adanya penyebaran kuman (virus, bakteri, prasit). Penularan dapat terjadi melalui kontak antara babi sakit dengan babi sehat atau sumber lainnya seperti pakan, peralatan kandang, dan sarana lainnya.

Menurutnya, meluasnya kasus kematian babi menunjukkan adanya penyebaran penyakit hewan menular yang disebabkan oleh virus sebagai sumber penularan. Secara komulatif data kematian babi sampai dengan tanggal 10 Maret 2020 tercatat sebanyak 3.045 ekor. Kata dia, itu menimbulkan kerugian ekonomi dan berdampak psikologis pada peternak lainnya karena terjadi penjualan babi secara tergesa-gesa dengan harga murah.

Nata Kesuma mengatakan, kondisi tersebut sangat memprihatinkan terutama para peternak skala usaha kecil dengan segala keterbatasannya harus menghadapi situasi global dengan padatnya mobilitas manusia maupun barang sebagai media pembawa penyakit sangat berpotensi terjadinya penyebaran hewan menular dari satu wilayah kewilayah lain. Terlebih lagi Bali sebagai daerah tujuan wisata utama, isu penyakit hewan menular yang bersifat zoonosis sangat rentan terhadap dunia pariwisata.

Kata dia, pertama, pemerintah telah melakukan langkah-langkah strategis melalui Dinas yang menanganani fungsi kesehatan hewan provinsi dan kabupaten/kota untuk mencegah penyebaran penyakit antara lain. Langkah-langkash tersebut yakni membentuk jejaring informasi dan respon cepat yang melibatkan instansi terkait untuk penanganan kasus serta melakukan investigasi terhadap sumber penularan serta melakukan pengambilan sampel babi untuk pemeriksaan laboratorium. Kedua, melakukan komunikasi, informasi dan edukasi secara terpadu yang melibatkan asosiasi peternak babi dan mengajak masyarakat peternak untuk melakukan kewaspadaan terhadap penularan penyakit pada babi dengan menerapkan biosekuriti pada kandang. Ketiga, melakukan pengawasan terhadap tempat-tempat pemotongan babi agar selalu mengikuti tata cara pemotongan ternak sesuai dengan standar oprasional prosedur dan selalu mengutamakan kebersihan fasilitas pemotongan.

Berdasarkan hasil penelusuran ke lokasi, kata Nata Kesuma, kasus kematian babi menunjukkan gejala klinis seperti demam tinggi, kulit kemerahan terutama pada daun telinga, inkordinası, pneumonia dan hasil pengujian laboratorium BBVet Denpasar teridentifikasi suspect ASF dan untuk pengujian lebih spesifik perlu dilakukan konfirmasi diagnose rujukan di BBVET Medan yang saat ini sedang dalam proses.

Menurutnya, langkah-langkah penanganan penyakit hewan menular tetap dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 61/Permentan/PK.320/12/2015 tentang Pembrantasan Penyakit Hewan. “Berdasarkan hasil kunjungan kami ke lapangan dan laporan petugas di lapangan, kasus kematian ternak babi sudah menurun walau pada beberapa lokasi masih terjadi kasus kematain babi dalam jumlah yang relatif kecil. Penurunan kasus kematian babi tersebut merupakan salah satu indikator keberhasilan dalam penanganan kasus kematian babi tersebut,” ujarnya. Ia mengatakan, keberhasilan tersebut diperoleh atas kerja keras semua pihak, terutama para peternak yang memberikan kontribusi cukup besar dalam penanganan kasus tersebut, terutama dalam penerapan biosekuriti pada masing masing kandang ternaknya. Upaya penanganan yang mandiri menjadi sangat penting karena peternak diharapkan dapat melakukan pengawasan yang lebih intensif baik lalulintas kandang maupun pemberian pakan yang berkualitas. Dalam rangka memulihkan kepercayaan peternak dalam melakukan usahanya serta memberikan kenyamanan dan ketentraman bain masyarakat untuk mengonsumsi daging babi, maka pemerintah melakukan upaya upaya klarifikatif dan promotif kepada seluruh masyarakat bahwa penyakit wabah babi di Bali sudah dapat dikendalikan, namun masih berpotensi dapat muncul kembali. (bs)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *