Muludan di Desa Pegayaman, Menyaksikan ‘Perjuangan’ Warga Mendapatkan Sebutir Telur Maulid

SIANG di Banjar Tegal, Desa Pegayaman. Sekira pukul 14.30 Wita. Senin, 22 September 2025 atau 29 Rabiul Awal 1446 H. Warga memadati Musholla Baitul Hidayah.

Di desa yang biasanya sejuk itu, siang itu terasa agak berbeda. Peluh-peluh bercucuran dari tubuh warga yang sebagian berpanas ria di bawah terik mentari.

Perhatian mereka hampir semua tertuju ke sokok taluh atau sokok telur. Ya isi sokok taluh itu sebagian besar telur yang sudah direbus.

Tiap sokok memuat puluhan bahkan ratusan telur. Ditancapkan di batang pisang atau bahan lainnya menggunakan semacam katik sate. Telur-telur itu dihias beragam rupa, dari yang gaya tradisional hingga modern.

 

 

Warga terus berdatangan ke Musholla Baitul Hidayah. Beberapa kakek menuntun cucunya. Nenek-nenek juga mengajak cucu, atau mungkin cicitnya. Ibu-ibu menggendong bayi, ikut berdesakan.

Perempuan-perempuan, gadis-gadis juga bergabung. Belum lagi anak-anak kecil, tak terhitung jumlahnya. Beberapa anak tampak tak sabar ingin memetik telur-telur itu. Hanya beberapa pemuda yang terlihat agak jarang. Kalau pun ada, mereka sebagian besar bertugas sebagai panitia muludan.

Dan merekalah yang menjaga dan melarang warga untuk mengambil telur, terutama anak-anak. Panitia mencabut telur-telur tersebut, dikumpulkan di dalam musholla. Sebentarnya lagi telur-telur itu akan dibagikan kepada warga.

Perjalanan telur yang disebut taluh muludan (telur maulid Nabi Muhammad SAW) itu cukup panjang untuk sampai ke musholla. Setelah malam harinya dimasak dan dihias oleh warga yang bersedekah sokok, telur-telur tersebut dijemput oleh grup hadrah pagi harinya. Tradisi menjemput sokok taluh itu dinamakan ngarak sokok.

Setelah ngarak sokok, warga pemilik sokok mengantarkan ke musholla. Satu per satu atau dari rumah ke rumah warga yang bersedekah sokok taluh, dijemput oleh grup hadrah.

 

 

Tahun 2025 ini, pada muludan di Banjar Tegal (muludan tingkat banjar/dusun) setidaknya ada 50 lebih sokok taluh. Dijemput oleh satu grup hadrah, yang tahun ini dilakukan grup hadrah dari Dusun Amertasari, Pegayaman atas.

Usai sholat dzuhur, sokok-sokok telur tersebut kemudian dipawai mengelilingi banjar, melewati jalan-jalan utama di Banjar Tegal. Seni hadrah dan burdah juga ikut mengiringi pawai. Ibu-ibu dan anak-anak serta warga bersuka cita berpawai ria.

Dari pawai, sokok-sokok taluh tersebut dibawa ke musholla. Warga pun menuju musholla. Memadati halaman dan titik-titik atau ruang-ruang di sekitar Musholla Baitul Hidayah. Sejumlah… ah … mungkin bisa disebut ‘banyak’ warga yang mengabadikan sokok-sokoh taluh itu dengan kamera HP-nya. Beberapa orang ber-selfie ria di depan sokok-sokok taluh tersebut, yang sangat beragam hiasan dan modelnya.

Tak lama, panitia mencabuti taluh-taluh muludan itu dari batangnya, dan mengumpulkan di musholla. Warga tampak mulai tak sabar menunggu pembagian taluh muludan tersebut. Beberapa anak mencoba mengambil taluh muludan sendiri yang langsung ditegur oleh panitia.

 

 

 

Panitia kemudian mengumpulkan warga di dalam musholla. Anak-anak kecil, gadis-gadis, ibu-ibu, bapak-bapak, kakek-nenek duduk berbaris berdesakan. Ruangan Musholla Baitul Hidayah penuh sesak dengan warga. Beberapa orang ibu menggendong anaknya. Beberapa kakek dan nenek memangku cucu atau mungkin cicitnya. Anak-anak kecil duduk manis, sambil sesekali ngobrol dengan teman-temannya.

Suasana di dalam mushola terasa gerah, karena kipas pendingin ruang yang hanya beberapa tak mampu menebar hawa sejuk. Peluh-peluh mengucur di pelipis-pelipis warga, terutama anak-anak kecil. Tapi mereka tampak menunggu dengan tertib pembagian taluh muludan.

Di luar, di beranda dan di halaman musholla juga disesaki warga. Mereka tidak kebagian tempat di dalam musholla, dan sebagian harus rela dan sabar berpanas-panasan di luar musholla.

Setelah menunggu puluhan menit, warga akhirnya lega. Taluh-taluh muludan dibagikan oleh panitia. Satu orang mendapatkan satu butir taluh muludan. Raut-raut bahagia terlihat pada wajah-wajah warga. Senyum-senyum mengembang, dan ada menimang-nimang taluh muludan-nya.

Meskipun mereka harus menunggu puluhan menit dan harus berdesakan di ruangan yang gerah dan panas, untuk mendapatkan satu butir taluh muludan mereka rela. Mereka senang. Mereka puas. ‘Perjuangan’ mereka terasa tak sia-sia. Mereka seperti mendapatkan barang yang sangat-sangat berharga. Sangat bernilai, mungkin bagi batin mereka. Bagi hidup mereka.

Barang berharga dan istimewa itu, taluh muludan itu, sangat ditunggu-tunggu warga, yang tersedia hanya setahun sekali. Di bulan Rabiul Awal, bulan Maulid Nabi Muhammad SAW.

 

 

Menyaksikan tradisi itu, betapa taluh muludan itu menebarkan magnet yang luar biasa. Taluh muludan itu memiliki daya pikat yang besar bagi warga Pegayaman. Taluh muludan memiliki tempat istimewa dalam pikiran, pandangan, bahkan mungkin keyakinan warga Pegayaman.

Telur itu tentu saja nantinya akan dimakannya seperti telur-telur rebus umumnya. Kalau hanya ingin mendapatkan telur untuk dimakan, sebenarnya warga tak perlu bercucur keringat, berpayah-payah menunggu sekian lama untuk mendapatkan sebutir telur. Mereka bisa membelinya di warung, dan merebusnya sendiri. Tak hanya sebutir, satu krat pun mereka pasti bisa membelinya.

Tapi karena kedudukan taluh muludan di hati, di pikiran, dan bahkan mungkin di keyakinan warga Pegayaman istimewa dan ‘lain’, mereka rela dan dengan sabar menunggu, berdesakan, berpanas-panas, bercapek-capek untuk mendapatkannya. Meskipun hanya sekadar satu butir. Ya satu butir taluh muludan. Itu rasanya cukup bagi warga.

“Ya pokoknya bikin bahagia saja dapat taluh muludan,” kata seorang ibu, ketika ditanya apa alasan ikut menunggu pembagian taluh muludan. “Saya mencari berkahnya,” komentar seorang bapak. (yum)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *