Bahasa Melayu Loloan

* Esai R. Azhari

 

BETAPA menarik Kampung Loloan di Jembrana Bali ini. Kampung ini acap kali jadi tujuan obyek penelitian dari berbagai perguruan tinggi maupun lembaga penelitian sosial dan budaya, khususnya penelitian tentang bahasa yang digunakan oleh masyarakat Loloan.

Hasilnya pun sudah dipublikasi melalui jurnal akademik sehingga kita bisa tahu metode yang digunakan, arah, tujuan dan kesimpulannya. Hampir banyak kemiripan karena yang diteliti adalah bahasa yang sudah selesai melalui post transformasi bahasa.

Dalam kajian ini, perhatian pertama karena belum melihat bagaimana proses transisi bahasa Bugis saat mengalami perubahan sehingga terbentuk bahasa yang baru dan berkembang sampai saat kini.

Perhatian kedua adalah faktor apa yang mempengaruhi bahasa Melayu ini lebih bertahan dan berkembangan di dalam lingkungan masyarakat Loloan.

Penulis mencoba melihat proses awal transformasi sebelum bahasa Melayu itu dapat diterima dan digunakan oleh masyarakat Bugis Loloan. Pertama adalah melalui faktor perkawinan, dan kedua adalah faktor ketokohan yang dapat dijadikaan acuan, sehingga kedua faktor itu merupakan variabel antara untuk menjelaskan korelasi kepatuhan masyarakat menggunakan bahasa Melayu sebagai cara berkomunikasi.

Pada awal kedatangan orang-orang Bugis, nama Loloan belum pernah didengar oleh siapapun. Mereka bermukim di bantaran sungai Ijo Gading. Mata pencaharian sebagai nelayan. Dari kalangan ini kebanyakan lelaki dan begitu seterusnya.

Jumlahnya semakin banyak dengan berdatangan rombongan perahu besar orang Bugis. Diantaranya ada yang mengajak keluarga dari daerah asalnya dan sebaliknya.

Kaum lelaki yang ingin mengembangkan hasrat biologis mereka tentu membentuk keluarga, maka pilihannya adalah gadis-gadis Bali yang dikenalinya dan dikawinkan sampai memiliki keturunan. Kemudian untuk menjaga kelangsungan hubungan sosial ikatan antar keluarga mereka membentuk kelompok masyarakat.

Peran kepala rumah tangga adalah mencari nafkah. Mata pencaharian mereka adalah nelayan, melaut atau berdagang antarpulau. Pekerjaan ini membutuhkan waktu berhari-hari, bahkan berbulan-bulan meninggalkan istri dan anak-anaknya. Tetapi pada saat tertentu berkumpul kembali bersama keluarga.

Manakala para lelaki meninggalkan keluarganya, para istri menggantikan peran suami dalam mengasuh anak-anak, maka di sinilah kesulitan pertama berkomunikasi harus menggunakan bahasa siapa?

Naluri seorang ibu sangat dekat kepada anak dan sebisa mungkin menggunakan bahasa sendiri yang dipahami, yakni bahasa Bali. Pada saat itulah fase percakapan penggunaan bahasa dalam keluarga antara bahasa bapak atau ibu saling bersilangan. Menyesuaikan dan mencari penempatan padanan kata-kata yang tepat di dalam mengasuh anak lebih banyak diselesaikan oleh ibu-ibu agar mudah dimengerti menerjemahkan maksud dan tujuan percakapan yang diajarkan kepada anak-anaknya.

Karenanya bahasa yang diajarkan bapak kepada anak-anaknya perlahan semakin pasif. Misalnya beberapa serapan kata penyebutan kata ganti anak laki-laki, seperti gede, nengah, kacung, dan anak perempuan dijuluki jebeng atau anak cantik disebut dengel demikian seterusnya kata ganti yang lain.

Berjalannya waktu kelompok masyarakat ini semakin bertambah jumlahnya dan terbentuk perkampungan kota. Karena itu pula menarik minat para mualaf, petualang dan pedagang menyusul berdatangan silih berganti ikut bermukim menjadi bagian dari masyarakat.

Setiap kedatangan rombongan perahu besar selalu dipimpin seorang yang kelak menjadi tokoh panutan, diantaranya ulama, saudagar, ahli perang, dan keahlian lainnya. Karena keahliannya, mereka dihargai sebagai tokoh tempat bertanya, belajar, menyelesaikan masalah dan penghubung kepentingan masyarakat kepada penguasa (raja-raja).

Tokoh-tokoh pendatang itu dari Semenanjung Melayu, Sumatera bagian timur, Malaka, dan Kalimantan. Dan adalah Encik Ya`qub diantara tokoh lain keberadaannya banyak mempengaruhi sikap masyarakat untuk menerima bahasa Melayu sebagai percakapan sehari-hari.

Mengajarkan buku bacaan tentang hukum Islam kepada para santri (murid) menggunakan huruf Arab Pegon. Karena keahliannya pula, beberapa raja di Bali menggunakan jasanya untuk menulis surat-surat berbahasa Melayu yang ditujukan kepada administratur penjajah Inggris dan Belanda.

Percakapan bahasa Melayu mengikuti jalannya waktu digunakan untuk penyebaran agama Islam dan para pedagang. Tokoh-tokoh pun terbiasa menggunakannya karena mudah diucapkan dan dimengerti.

Tetapi bagaimana bahasa itu bisa diterima ke dalam lingkungan keluarga, sedangkan kosa kata bahasa Bali masih melekat setiap percakapan keluarga dan berangsur perlahan masyarakat harus belajar menyesuaikan penambahan kosa kata tanpa harus mengubah bunyi ke dalam dialek Melayu.

Mengamati perkembangan bahasa Melayu Loloan, ikatan antar keluarga yang kuat ikut menjaga kelangsungan bahasa hingga kini penggunanya telah melampaui batas wilayah. Sekalipun dahulu sering kali terdengar satire atau meniru-nirukan dialek sebagai candaan, diucapkan oleh orang yang belum mengenal budaya Loloan, tetapi justru kini dialek Melayu Loloan bisa diterima di kalangan pelajar.

Mereka terbiasa bercakap karena tidak begitu sulit kalimatnya dengan meminjam kosa kata bahasa Bali yang diucapkan dalam percakapan.

Perkembangan terakhir menurut pengamatan saya, bahasa Melayu Loloan ini telah digunakan oleh masyarakat desa-desa seluruh pesisir pantai selatan dari ujung timur perbatasan sampai barat pulau Bali. Dengan demikian, memasukkan nilai-nilai kebahasaan di dalam keluarga dan masyarakat akan terasa keintiman berbudaya Melayu Loloan. []

*) Penulis adalah Pemerhati Budaya dari Loloan Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *