Kiprah Mangku Inten

  • Esai Sejarah dr. Soegianto Sastrodiwiryo *)

BULAN Bhadrawada semakin dekat, berarti kedatangan Mangku Inten juga makin dekat. Dolok dan Boadi makin rajin ke rumah Rencina buat memantau kalau kalau Mangku Inten mengirim berita baru. Sayang Rencina belum menerima berita apapun dari Mangku Inten. Di bulan-bulan mendekati Bhadrawada udara menjadi lebih dingin dan hujan pun jarang.

Dolok dan Boadi makin sering mengunjungi Gedong Kirtya buat memindai keterangan dari Lontar. Namun keterangan dari Ketut Suwidja tak kurang pentingnya karena budayawan pustakawan lontar ini bisa memberikan pendapat tentang apa yang dilakukan Mangku Inten.

“Mangku Inten tidak sembarangan bertindak,” ujar Kepala Gegong Kirtya itu dalam satu kunjungan Dolok di kantornya.

“Lalu apa yang bisa kami pahami Jro tentang Mangku Inten yang aneh ini Jro?” tanya Dolok.

“Ya Anda tak perlu risau karena Mangku Inten sangat memahami apa yang tercantum di khazanah Gedong Kirtya ini.” Dolok dan Boadi terbelalak matanya tak mengira kemampuan Mangku Inten yang selama ini dianggap mereka tukang cukur sinting saja.

“Kalian harus tahu bahwa Mangku Inten sejak dahulu bersahabat baik dengan Ratu Baita yang telah moksha itu.”

“Ah sampai sejauh itukah?” celetuk Dolok.

“Iya aku mendapat bisikan dari wakil sekretaris Ratu Baita saudara Pasek Sukasada bahwa saat kedatangan Mangku Inten di Bukit Balu maka Bukit itu akan terang benderang, tapi tak seorangpun bisa melihatnya kecuali para Sadhaka Ratu Baita.

Manku Inten akan turun tepat di atas Istana Bukit Balu lalu menyelinap masuk ke Goa Beringin untuk keluar ke Banjar Petak tanpa dikawal siapapun.” Dolok terpesona.

“Lalu bagaimana Rencina akan tahu?”

“Rencina itu urusan mudah karena tiap saat ada sasmita tanda-tanda kedatangan Mangku Inten. Dan cakupan sangat berniat untuk menemuinya kali pertama. Tapi ini atas perkenan Mangku Inten.

Yang harus kalian pahami adalah bagaimana Mangku Inten bisa hidup berbulan-bulan tanpa oksigen di bulan.”

“Benar sekali Jro, benar sekali itu amat mengganggu logikaku,” jawab Dolok.

“Ha … haa kalian tidak tahu bahwa Ratu Baita memiliki stasiun kehidupan di permukaan bulan dan ditunggu oleh Mangku Nassar.”

“Aku tidak bisa menerangkan perspirasi station itu buat memberi nafas Mangku Inten. Hanya Ratu Baita yang mampu menerangkan.”

“Tapi saat ini Ratu Baita kan telah moksha.”

“Ya benar, tapi Ratu telah menurunkan ilmunya pada Pasek Sukasada. Dan akan lebih baik bila kita lengkap bicara dengan beliau di Wuku dungulan bulan terang.”

“Baik kita akan tunggu saat itu dan saya minta buat memeriksa lontar-lontar tentang pengembaraan luar angkasa di sini.”

“Ok boy, anda berdua saya bebaskan menyalin atau meng-copy apapun kekayaan Gedong Kirtya,” jawab Ketut Suwidja sambil tersenyum ramah.

Keinginan Dolok untuk menemui Ida Bagus Asmara tidak bisa terlaksana karena telah dua bulan ini Sang Pengutik ini sakit paru-paru dan badannya makin kurus. Dolok sempat mengunjungi rumahnya di Desa Banjar sambil memberikan sekadar uang.

Dolok agak sedih melihat kondisi Ida Bagus Asmara karena dia tidak pernah menolak buat transliterasi isi-isi lontar Gedong Kirtya yang amat diperlukan Dolok. Untuk keperluan transliterasi Dolok sempat meminjamkan sebuah mesin ketik pada Ratu Asmara.

Saat hari bertambah sore Dolok dan Boadi mohon diri pada kepala Gedong Kirtya itu.

Hari Pertama bulan Bhadrawada telah tiba. Itu berarti bulan terang.

Pertemuan-pertemuan buat menyongsong Mangku diadakan di rumah Pasek Sukasada, sesuai anjuran Ketut Suwija, Kepala Gedong Kirtya. Yang hadir adalah empat orang, Dolok, Rencina, Ketut Suwija dan Mangku Nassar. Boadi tak diundang karena tak ada kepentingan langsung. Dolok membolak balik lontar. Mereka sedang membicarakan isi gelombang Spitz yang dikirimkan Mangku Inten dari luar angkasa.

Isinya : Mangku Inten akan mendarat di Bukit Balu, tepat hari Kamis Kliwon 12 Agustus. Pendaratan langsung di puncak Istana.

Selama pembicaraan berempat mereka harus latihan Garudeya Manthram agar lancar mnggunakannya.

Pada hari ketiga, keempat orang itu pergi ke Bukit Balu lalu masuk melalui Gerbang Pokok Beringin yang sempit.

Yang pertama masuk adalah Pasek Sukasada.

Celah itu makin lama makin melebar lalu tiba-tiba meluas seluas beberapa lapangan bola diiringi dengan ribuan kelelawar yang berlomba keluar celah. Setelah keempatnya masuk mereka menuju lantai dua Istana Baita.

“Saudara-saudara kita berada di sini untuk menyambut Mangku Inten yang telah mendapat restu Ratu Baita. Kemudian sejak hari ketiga ini kita harus menunggu sampai bulan penuh tanggal dua belas.”

Tak seorangpun diijinkan keluar atau memakai handphone, kata Pasek Sukasada dan semuanya setuju.

Udara terasa makin dingin dan cahaya di luar makin terang. Pasek mengeluarkan beberapa lontar dan membaginya diantara mereka. Ternyata isinya adalah hapalan Garudeya Manthram yang harus betul-betul dihayati. Mangku Nassar sebentar-sebentar melihat ke atas mengawasi intensitas cahaya rembulan, namun tak ada perubahan yang berarti dan acapkali bertanya pada Ketut Suwidja tentang hapalan dan arti isi lontar.

Ketut Suwidja dengan sabar mau menerangkan. Dolok ingin secepatnya memahami dan menghapal isi lontar. Tapi Mangku Nassar, Suwidja dan Rencina nampaknya sudah paham dan hapal benar isi lontar.

Tepat hari Selasa dua hari sebelum Kamis terjadi gemerisik halus di udara. Cahaya rembulan makin terang. Jantung Dolok berdegup kencang. Ingin cepat-cepat bertemu Mangku Inten.

Tepat tengah malam hari Kamis Kliwon terdengar suara seperti gemerincing genta dari atap Istana. Mangku Inten telah mendarat.

Mereka berempat menyongsong kedatangan Mangku Inten sambil mencakupkan kedua tangan. Lalu kelimanya berkumpul duduk di sebuah tikar penjalin tempat pertemuan.

Mangku Inten membuka kalimat pertemuan : “Aum anno bhadrah……. selamat bertemu wahai kawan-kawanku. Kalian saat ini jangan harap mendengar detail suasana di tanah Rembulan. Hanya dua yang boleh kusampaikan.”

“Nun di stasiun Baita di tanah Rembulan kita bisa meneropong Bumi dengan Manthram Garudeya. Maka setiap detail di Bumi ini entah negara lautan kota atau penduduknya bisa dilihat dengan jelas.”

“Kedua, pembicaraan harus menggunakan Gelombang Spitz dengan Manthram yang sama tapi pikiran harus benar-benar disatukan.”

“Hanya itu?” pikir Dolok. Dolok terkejut karena tiba-tiba Mangku Inten menjawab seakan memahami pertanyaan batinnya.

“Ya hanya itu, tidak lebih.” Yang lain terkejut atas pembacaan batin Mangku Inten, sehingga masing-masing mereka hampir tak berani mengajukan pertanyaan walau dalam hati.

Pagi hari keesokannya pertemuan bubar dan Mangku Inten berdua dengan sekretarisnya kembali ke rumah di Banjar Petak. Dolok pulang bersama Pasek Sukasada dan menginap di sana. Mangku Nassar pun pulang ke rumahnya.

Alangkah cepatnya pertemuan itu pikir Dolok dan Pasek. Dolok menginap di rumah Pasek untuk menanyakan ini dan itu sebelum akhirnya pamit pulang ke Mumbul.

Sepulang Mangku Inten dari Angkasa, dia memerintahkan kepada ponakannnya Rencina agar menutup kunjungan siapapun ke rumahnya. Termasuk para pejabat atau pembesar yang ingin bertemu dengannya. Waktunya adalah dua bulan sejak kedatangannya dari Bulan. Itu berarti kemungkinan kunjungan orang-orang wartawan pengetua adat maupun ilmuwan sampai bulan Kartika atau Sasih Kapat dimana Arkturus telah duduk di langit.

Rencina, sekretaris Mangku Inten mentaati perintah atasannya itu. Pada suatu hari saat ada kunjungan Dolok dan Boadi ke Gedong Kirtya, Kepala Museum itu meminta Dolok masuk ke ruangannya. Hanya Dolok. Suwidja memulai pembicaraan:

“Saya akan memberi tahu buat anda sisi misterius Mangku Inten,” Dolok menghela nafas dan menunggu ucapan selanjutnya.

“Kau pasti tidak paham pola pikir Mangku Inten. Ya dia memang orang Bali pengikut Ciwa, tapi dalam menganalisa banyak hal Mangku Inten tidaklah sabar dengan detail. Dia sudah puas dengan Universalitas yang telanjang. Dan ini khas cara berpikir Persia bukan Brahmana.

Walaupun para Pengikut Zarathustra (Iran) dan Brahma (India) sepakat dalam kesatuan benda-benda namun orang-orang Brahma tetap ingin mendalami semua aspek pengalaman dan pengamatan. Dolok termenung dan terpesona pada keterangan Kepala Gedong Kirtya ini. Dolok bahkan penasaran dan mulai bertanya : “Dari mana Bapak mengetahui ini semua?”

“Ya dari pengalaman dan pengamatan saya ditambah kubaca Metaphisika Persia, tulisan filsuf Pakistan yang mendunia itu.”

Bila kau amati apa yang dilakukan Mangku Inten selama ini maka jelas bahwa dia memilih jalan lain dari lazimnya kita kita ini seakan dia seorang pengikut Zarathustra.

Mana mungkin cendekiawan kita atau para Sulinggih berpikir seperti dia untuk bisa ke tanah Bulan hanya dengan kekuatan Manthram dan keyakinan. Memang pernah ada di abad ke-11 sesuai dengan Prasasti Julah. Sayang ilmu itu tak dikembangkan dan berakhir di kepala Mpungku ri Yaeh Tipat yang telah wafat baru-baru ini. Mpungku ri Air Tipat dekat puncak 1.220 meter.

Dolok hanya mengangguk-angukkan kepala saja.

Mendekati Sasih Kapat, Dolok lebih sering mengunjungi Gedong Kirtya. Syukur ia masih bisa bertemu dengan pengutik lontar Ida Bagus Sarathustra dari Mangku Inten Asmara tapi kawannya yang lain telah wafat, ahli lontar dari Banyuning Nyoman Antasha.

Dolok tiba-tiba ingin berkunjung ke Iran, tanah tumpah darah Zarathustra guru Kant dan Jean Paul Sartre.

Tapi peta Iran dan jalan ke tempat itu masih gelap gulita bagi Dolok. Ia harus bersabar siapa tahu di bulan Kartika ini dia bisa mendapat informasi baru tentang Zarathustra dari Mangku Inten.

Dua bulan cepat berlalu dan orang berbondong ingin bertemu dengan Mangku Inten. Terutama wartawan lokal dari Denpasar dan Singaraja bahkan Surabaya Pos tidak mau ketinggalan.

Mangku Inten memberi batas waktu sampai jam 09 malam dari pagi. Sabtu Minggu tutup. Semua harus melalui pendaftaran Rencina, Sang Sekretaris.

Pada hari-hari tertentu Mangku Inten mebakti di Merajan Agung milik Puri Bale Agung. Semua gerak-gerik Mangku Inten diikuti dengan ketat oleh para warga. Mereka sangat ingin menatap Mangku Inten setiba dari Ruang Angkasa tanah rembulan.

Hari-hari berlalu begitu cepat sampai akhirnya Dolok dan Ketut Suwidja bisa bertemu tatap muka langsung di rumah Mangku Inten. Menurut perhitungan fisika, seharusnya Mangku Inten menjadi lebih muda karena menunggang kecepatan cahaya bahkan lebih dan benar Mangku Inten tampak jauh lebih muda dari sebelumnya.

Pertemuan tatap muka antara Dolok, Ketut Suwidja, Pasek Sukasada menghasilkan hal-hal yang di luar dugaan :

1. Stasiun Bulan hanyalah satu langkah untuk melanjutkan keberlangsungan apa yang telah dirintis oleh Mpungku ri Manasa bagi penjelajahan angkasa luar spiritual.

2. Planet Bumyagara di Alpha Centauri memiliki satu pemusatan bagi perjalanan ke bintang-bintang lebih jauh.

3. Mulai saat ini semua yang ingin bertemu Mangku Inten harus mendaftar pada Rencina.

Hari-hari di mana Mangku Inten tidak boleh dijumpai siapapun termasuk wartawan menyebabkan Dolok mengumpulkan kawan- kawan lamanya yang satu pandangan.

Mereka adalah Kawalia orang Bugis, Sugiri si anak pendiam, Raden Roro Sumaryanti pacar Sugiri. Raden Roro mumpuni bangsawan keraton adik Sumaryanti. Sumerata anak Peguyangan yang tingginya lebih dua meter, Boadi anak Lik Sumardi, Kancil, Made Putu alias Kelet.

Tempat pertemuan dekat Pura Taman mulai jam 08.00 malam dipimpin Dolok. Entah dengan cara bagaimana kawanan itu yang jumlahnya delapan tiba-tiba sekitar jam 10.00 malam telah berada dalam sebuah kapsul lonjong yang bisa terbang.

Kapsul ini hanya bisa dikendalikan melalui pikiran yang bisa merafal Garudeya Manthram. Tentulah cuma Dolok atau Sumerata yang bisa. Kapsul ini akan bergerak dengan kecepatan cahaya kemanapun dia menuju. Tapi Dolok belum berani mengarahkan Kapsul ini ke arah Rembulan atau Alpha Centauri karena buat itu memerlukan perkenan seorang Mpungku.

Dolok hanya berani berputar-putar di atas Samudra Pacifik saja sambil menjajal kemampuan Kapsul. Ketika Raden Roro Sumaryanti minta agar Kapsul diarahkan ke tempat leluhurnya di Yogya, Dolok dengan sopan dan halus menolak karena tak tercantum dalam acara. []

*) Penulis adalah Cendekiawan Sejarawan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *