- Oleh Rully Oktavia Hermawan
IOWAVE adalah latihan internasional simulasi tsunami yang digagas UNESCO bersama negara-negara Samudra Hindia. Tujuannya sederhana namun krusial: melatih kesiapan masyarakat pesisir dalam menghadapi ancaman tsunami, memastikan sistem peringatan dini berjalan efektif, serta menguji koordinasi lintas lembaga dari pusat hingga desa.
Indonesia, yang berada di jalur cincin api Pasifik dan berhadapan langsung dengan sumber gempa pemicu tsunami, menjadi salah satu negara yang paling aktif dalam agenda ini.
Salah satu desa yang ikut serta adalah Desa Pengastulan, Buleleng, Bali. Desa ini memiliki makna khusus karena telah menyandang predikat Tsunami Ready Village, sebuah pengakuan internasional bahwa masyarakatnya memiliki tata kelola kesiapsiagaan tsunami sesuai standar global.
Gelar ini tidak datang tiba-tiba, melainkan hasil kerja panjang dalam membangun sistem peringatan, jalur evakuasi, titik kumpul aman, serta penguatan kapasitas masyarakat.
Dalam simulasi IOWAVE 2025, kehadiran BMKG menjadi sangat penting. Tanpa BMKG, tidak ada skenario yang bisa dijalankan, karena merekalah yang bertugas memicu rangkaian peringatan dini tsunami.
Dari ruang operasional yang dipenuhi layar pemantau seismograf, BMKG menyimulasikan terjadinya gempa besar di zona Flores Back Arc Thrust—wilayah rawan di utara Bali yang memang berpotensi memicu tsunami. Dengan magnitudo skenario 7,3, BMKG menghasilkan parameter gempa, menghitung potensi tsunami, dan memproyeksikan berapa lama gelombang pertama akan tiba di pesisir.
Begitu data simulasi itu diproses, BMKG langsung menyebarkan peringatan dini tsunami ke seluruh pemangku kepentingan. Informasi itu mengalir cepat melalui WRS ke BPBD Buleleng, Pemerintah Kabupaten Buleleng, hingga Dinas Kominfo yang menyalurkan pesan melalui RRI, TVRI, dan jaringan komunikasi resmi. Bahkan, aparat desa, tokoh masyarakat, dan lembaga adat juga menerima informasi agar bisa segera mengarahkan warganya.
Di sinilah terlihat bagaimana BMKG menjadi pusat penghubung: dari data ilmiah di level nasional, turun ke tindakan nyata di level desa. Namun, peran BMKG tidak hanya berhenti pada angka dan peta. Tim BMKG turun langsung ke Desa Pengastulan, memberi pemahaman kepada warga bagaimana cara membaca peringatan tsunami, apa arti “waktu kritis”, dan mengapa respon cepat lebih penting daripada menunggu sirene.
Masyarakat dilatih untuk menjadikan waktu kritis sebagai alarm keselamatan: begitu gempa kuat terasa, segera bergerak menuju jalur evakuasi. Lebih jauh, BMKG juga membawa misi edukasi. Mereka berbicara di sekolah, berdiskusi dengan tokoh agama, hingga menyampaikan pesan sederhana kepada anak-anak: jika bumi bergetar keras, tinggalkan
Sumber Gempa Pemicu Tsunami di Pengastulan
Secara geologi, wilayah utara Bali termasuk Pengastulan berhadapan langsung dengan zona Flores Back Arc Thrust—sebuah sesar naik aktif di dasar Laut Bali. Mekanisme gempa di zona ini dapat mengangkat dasar laut dan memicu tsunami yang berpotensi menghantam pesisir dalam waktu singkat.
Dalam simulasi IOWAVE 2025, skenario terburuk yang diambil adalah gempa bermagnitudo 7,3 di zona ini. Dengan kekuatan sebesar itu, gelombang tsunami diproyeksikan mampu mencapai pesisir utara Bali, termasuk Pengastulan, dalam waktu yang sangat singkat. Peta bahaya tsunami BMKG menunjukkan estimasi waktu tibanya gelombang (ETA) di Pengastulan hanya sekitar empat menit sejak gempa besar terjadi.
Waktu Kritis di Pengastulan: Hanya Empat Menit Menuju Gelombang
Peta bahaya tsunami yang disusun BMKG untuk Desa Pengastulan, Kecamatan Seririt, Buleleng menyajikan kenyataan yang tidak bisa diabaikan: jika terjadi gempa besar di Laut Bali dengan mekanisme pemicu tsunami, gelombang pertama bisa tiba hanya dalam waktu sekitar empat menit.
Empat menit—sebuah waktu yang sangat singkat. Itu bahkan lebih cepat daripada menunggu mie instan matang. Dalam hitungan detik setelah guncangan gempa terasa kuat, masyarakat harus segera memahami bahwa tidak ada ruang untuk menunggu instruksi panjang atau mencari kepastian berita. Empat menit adalah peringatan keras: siapa cepat, dia selamat.
Peta evakuasi menunjukkan jalur dan zona genangan di sekitar pesisir Pengastulan. Area dekat pantai, terutama sekitar muara sungai dan jalan utama, diproyeksikan tergenang lebih dulu.
Sementara itu, balai desa, sekolah, dan masjid yang berada sedikit lebih jauh ke dalam daratan hanya memiliki sedikit tambahan waktu sebelum gelombang tiba. Titik aman baru benar-benar tercapai di kawasan lebih tinggi ke arah selatan desa.
Kondisi ini menjelaskan mengapa status Tsunami Ready Village bagi Pengastulan bukan hanya gelar, melainkan kebutuhan nyata. Dengan ETA yang hanya empat menit, respon spontan masyarakat menjadi faktor penentu keselamatan.
Begitu gempa kuat terasa, warga tidak boleh menunggu sirene, pengeras suara, atau pengumuman resmi. Mereka harus langsung bergerak menuju jalur evakuasi, mengikuti rambu yang sudah dipasang, dan menuju titik aman yang telah ditentukan.
Di sinilah peran simulasi IOWAVE menemukan relevansinya. Dengan melibatkan warga, sekolah, lembaga adat, pemerintah desa, hingga tokoh agama, masyarakat Pengastulan dilatih untuk tidak panik tetapi sigap, bergerak cepat, dan menolong kelompok rentan terlebih dahulu. Simulasi itu mengajarkan refleks kolektif: gempa kuat diikuti evakuasi segera. Tidak lebih, tidak kurang.
Empat menit—waktu yang nyaris tidak memberi ruang untuk berpikir panjang. Bagi masyarakat, ini berarti begitu merasakan guncangan kuat, respon satu-satunya adalah segera menuju jalur evakuasi tanpa menunggu sirine atau pengumuman resmi. Empat menit adalah alarm nyata: siapa cepat, dia selamat.
Inilah alasan mengapa status Tsunami Ready Village bagi Pengastulan bukan sekadar penghargaan di atas kertas, melainkan kebutuhan vital. Dengan ETA yang sangat singkat, respon mandiri dan spontan masyarakat menjadi kunci utama keselamatan.
Rambu evakuasi, titik kumpul, dan latihan simulasi yang dilakukan BMKG bersama BPBD, Pemkab, Kominfo, serta aparat desa bertujuan membentuk refleks kolektif: gempa kuat → evakuasi segera/evakuasi mandiri → menuju titik aman.
Peta bahaya tsunami yang disusun BMKG untuk Desa Pengastulan, Kecamatan Seririt, Buleleng menyajikan kenyataan yang tidak bisa diabaikan: jika terjadi gempa besar di Laut Bali dengan mekanisme pemicu tsunami, gelombang pertama bisa tiba hanya dalam waktu sekitar empat menit.
Empat menit—sebuah waktu yang sangat singkat. Itu bahkan lebih cepat daripada menunggu mie instan matang. Dalam hitungan detik setelah guncangan gempa terasa kuat, masyarakat harus segera memahami bahwa tidak ada ruang untuk menunggu instruksi panjang atau mencari kepastian berita. Empat menit adalah peringatan keras: siapa cepat, dia selamat.
Peta evakuasi menunjukkan jalur dan zona genangan di sekitar pesisir Pengastulan. Area dekat pantai, terutama sekitar muara sungai dan jalan utama, diproyeksikan tergenang lebih dulu.
Sementara itu, balai desa, sekolah, dan masjid yang berada sedikit lebih jauh ke dalam daratan hanya memiliki sedikit tambahan waktu sebelum gelombang tiba. Titik aman baru benar-benar tercapai di kawasan lebih tinggi ke arah selatan desa.
Simulasi dan Kesiapan Masyarakat
Dalam pelaksanaan IOWAVE, Desa Pengastulan tidak berdiri sendiri. BMKG sebagai penyedia informasi gempa dan tsunami berkoordinasi dengan BPBD Buleleng, Pemerintah Kabupaten Buleleng, Dinas Kominfo, serta Pj Kepala Desa Pengastulan.
Kegiatan ini juga diikuti oleh unsur masyarakat yang luas. Hadir jajaran pemerintah desa bersama lembaga adat, Kelian Banjar Dinas, BPD, LPM, dan tokoh masyarakat yang menjadi garda terdepan dalam menggerakkan warga.
Dari sisi pendidikan, MTsN dan MI Al-Huda turut melibatkan siswa dan guru agar generasi muda ikut merasakan pengalaman nyata evakuasi tsunami. Bahkan, dari lingkup organisasi keagamaan, Lembaga Pengkajian Nahdlatul Ulama Pusat ikut serta memberikan dukungan dan perspektif spiritual untuk memperkuat ketangguhan sosial masyarakat.
Dengan kehadiran berbagai unsur ini, simulasi di Pengastulan benar-benar mencerminkan semangat kebersamaan lintas sektor: pemerintah, sekolah, lembaga agama, hingga komunitas adat bersatu dalam upaya melindungi warganya.
Latihan ini membuktikan bahwa kesiapan tidak hanya bergantung pada infrastruktur, tetapi juga pada respon cepat dan sinergi antar-komponen masyarakat. Kedisiplinan warga meninggalkan rumah menuju titik kumpul menjadi faktor penentu keberhasilan evakuasi.
Ujian Nyata: Gempa Banyuwangi 25 September 2025
Menariknya, pada 25 September 2025, di hari yang sama dengan pelaksanaan IOWAVE, terjadi gempa bermagnitudo 5,7 di wilayah timur laut Banyuwangi. Data BMKG mencatat gempa terjadi pada pukul 16:04:12 WIB, dengan episenter di koordinat 7,82° LS – 114,47° BT, berjarak sekitar 46 km timur laut Banyuwangi, Jawa Timur, pada kedalaman 12 km.
Guncangan cukup kuat terasa di Bali utara, termasuk Desa Pengastulan, dengan intensitas IV MMI—setara guncangan sedang yang membuat warga berlarian keluar rumah. Meski gempa ini tidak berpotensi tsunami, peristiwa tersebut menjadi “ujian nyata” bagi warga Pengastulan yang baru saja mengikuti simulasi.
Informasi cepat dari BMKG segera disebarkan melalui kanal resmi. Warga yang sebelumnya terlatih dalam simulasi merespons lebih tenang: sebagian menuju ruang terbuka, memastikan anggota keluarga berkumpul, dan menunggu arahan aparat desa serta fasilitator.
Respon Stakeholder dan Fasilitator Desa
Stakeholder lokal—mulai dari BPBD, Pemkab, hingga aparat desa—bergerak cepat memastikan informasi yang beredar jelas dan tidak simpang siur. Fasilitator desa yang telah dilatih sebelumnya berperan penting menenangkan warga, menjelaskan bahwa gempa Banyuwangi tidak berpotensi tsunami, dan memastikan jalur komunikasi tetap terbuka.
Dengan demikian, Desa Pengastulan menunjukkan bahwa kesiapsiagaan tidak berhenti pada seremoni simulasi, tetapi teruji dalam kenyataan. Sinergi antara BMKG sebagai penyedia informasi, pemerintah daerah sebagai penggerak, Kominfo sebagai saluran komunikasi, lembaga pendidikan dan agama sebagai penguat sosial, serta masyarakat sebagai pelaku utama, menjadi kunci resiliensi desa pesisir terhadap ancaman gempabumi dan tsunami.
Penutup
IOWAVE di Pengastulan, ditambah pengalaman langsung menghadapi gempa Banyuwangi di hari yang sama, memperlihatkan betapa pentingnya kesiapan multi-level. Dari sistem peringatan dini, simulasi rutin, hingga respon spontan masyarakat, semuanya saling melengkapi.
Desa Pengastulan kini tidak hanya layak disebut Tsunami Ready Village di atas kertas, tetapi juga dalam praktik, dengan masyarakat yang tangguh, kompak, dan terlatih menghadapi bencana. (*)
*) Penulis adalah Kepala Stasiun Geofisika BMKG Denpasar