Ayu Laksmi Pentaskan Multitalentanya Secara Totalitas di Panggung Singaraja Literary Festival

AKTOR dan penyanyi Ayu Laksmi tampil totalitas di panggung Singaraja Literary Festival (SLF) 2025. Ia mementaskan monolog autobiografinya “Apabila Aku Kembali dan Mengobati Diriku Sendiri” yang ditulis sastrawan yang juga Direktur Singaraja Literary Festival, Kadek Sonia Piscayanti.

Ayu Laksmi pentas di hari kedua SLF III Tahun 2025, Sabtu, 26 Juli 2025, di Sasana Budaya Singaraja. Ia membalut dirinya dengan penutup tubuh yang serba putih.

Di panggung tersebut, Ayu Laksmi menumpahkan secara totalitas multitalentanya. Ia bermonolog, menyanyi, menari, mekidung, bermain musik (kecapi), bermain seperti anak-anak, menangis dan menyanyi ya menyanyi profesional, karena Ayu Laksmi memang penyanyi profesional.

Simbol-simbol yang melekat pada karakter Ayu Laksmi dihadirkan di panggung. Cermin, dupa, lampu remang-remang dan suasana gelap. Panggung terasa magis. Semagis perjalanan hidup aktris yang memerankan ‘ibu’ dalam film “Pengabdi Setan” tersebut.

Namaku Ayu Laksmi. Ayu artinya rahayu, damai. Laksmi artinya kekuatan. Aku bekerja dalam dua kata itu, sebagai bahan membuat kekuatan sendiri, damai dan kuat.” Ayu Laksmi memulai monolognya.

Jika orang bertanya siapa aku, aku akan menjawab, aku adalah diri yang mengalami banyak hal dan belajar menerima banyak hal. Hingga suatu saat aku mungkin akan menyerah dan kalah pada semesta.”

Mencoba memikirkan kembali dengan tenang saat ini, siapa aku ketika ini, dan siapa aku di masa lalu, lalu bagaimana aku di masa depan.”

Aku menjadi perahu yang berlayar melintasi waktu, menjadi perantara bagi mimpi-mimpi dan kenangan juga doa-doa di masa depan.”

Kucoba memberi pada jiwa ini, sebanyak-banyaknya yang aku bisa, mengobati yang pernah tersakiti, lalu menjadi diam dan hening kembali.

Lalu di latar belakang panggung, muncul video yang menyajikan foto-foto duka. Tabrakan kendaraan, mobil dan motor. Video menggambarkan suasana sedih ketika Ayu Laksmi harus kehilangan sosok yang ia cintai. Ayahnya. Lalu muncul foto ayahnya, dan suasana duka ketika ayahnya meninggal dunia.

Kehilangan ayahku, adalah duka dan luka, tapi aku entah kenapa aku perlahan sembuh.”
Foto ibu muncul dan foto Ayu Laksmi dan saudara-saudaranya ketika kecil juga menjadi latar belakang saat Ayu Laksmi melanjutkan monolognya.

Lewat cahaya semesta, aku disembuhkan oleh ibuku sendiri. Dia tidak menyembuhkan dengan kata-kata, namun dengan perlakuan dan pembuktian. Dalam kesendirian, dia menumbuhkan kami, sekaligus mengobati luka kami, sekaligus menghibur kesunyiannya sendiri. Dalam kemudaan yang tak ramah pada perempuan, Ibu menjadi penyangga jiwa kami, anak-anak yang haus kasih sayang dan masih merindukan Ayah.”

Ayu Laksmi lalu mengambil kain berwarna-warni, seraya berujar;

Dalam kemudaan kami pula, Ibu menjadi guru. Diperkenalkannya keindahan semesta lewat lagu dan musik, menjadikan ibu adalah pembuka jalan menuju tangga lain dalam kehidupan. Dunia seni yang terang benderang.”

Kemudian Ayu Laksmi memain-mainkan kain berwarna-warni tersebut. Ia bermain seperti anak-anak. Mendendangkan lagu dengan nada suara anak-anak. Ia berputar-putar, memainkan kain berwarna-warna. Lalu ia mendendangkan sebuah lagu dengan penuh penghayatan.

Dalam keindahan aku menuju realitas dunia angka, dunia bahasa dan dunia persaingan. Satu per satu keindahan lomba aku masukkan, dan menjadi bagian dari rasa menang. Awalnya terasa ganjil, namun membahagiakan.”

Rasa menang juga diselingi rasa kalah, lalu menjadi warna-warni yang menyembuhkan. Perlahan aku tiba pada dunia nyata, versi yang diinginkan oleh dunia. Aku terjebak, apakah aku akan menjadi yang dunia inginkan, ataukah menjadi diriku sendiri.

Saat melantunkan kalimat-kalimat tersebut, di layar latar belakang, ditayangkan video ketika Ayu Laksmi sedangkan menerjuni dunia tarik suara. Menjadi penyanyi rock. Foto-foto di sampul kaset dan di majalah-majalah hiburan di masa itu juga ditayangkan. Suara Ayu Laksmi saat menembangkan lagu perdengarkan.

Aku sempat limbung, dan dalam seluruh pergulatan itu aku kembali pada diriku sendiri. Aku ingin menjadi apa. Aku pulang. Pada diriku. Aku meninggalkan Jakarta, dengan segenap gemerlap dan peluangnya. Aku kembali pulang, menjadi diriku yang kurindukan.

Peran Ayu Laksmi di panggung berubah. Ia memakai (menggunakan) sayap yang dijepit kedua tangannya.

Aku mengembara dalam dunia yang aku inginkan. Menjadi pencipta. Aku ciptakan apa yang aku ingin ciptakan. Lalu membiarkan dunia mengalir di dalamku. Aku menyanyi dan terus menyanyi, berulang-ulang dan membuatku bahagia.” Ayu menyanyikan ini dengan riang gembira. Tapi, … lantas ia berucap dengan serius.

Tapi. Ternyata aku merindukan kebaruan. Waktu cepat mengajariku untuk berubah. Dan terus lahir. Aku bertanya. Apa maumu, waktu. Aku berdiam dalam sunyi. Kembali hanya mendengar dan belajar.”

Lalu aku mengenal puisi masa lalu dari lontar-lontar yang indah itu. Aku tertaut dengan masa lalu yang purba. Dan aku ingin kembali menjadi kanak yang rindu belajar. Aku mulai menelusuri kata-kata klasik yang hampir luput diucapkan. Aku belajar makidung. Belajar matembang.

Lalu disinilah aku menjadi kembali. Dengan aku yang terus belajar menyanyi, aku menjadi seseorang yang terus memperbaharui diri sendiri.”

Ayu Laksmi mengambil kecapinya. Memetiknya, menyuarakan sebuah lagu. Ia menyanyikan lagu Jawa Kuno, dengan iringan petikan kecapi. Syahdu, magis, dan menghayutkan perasaan. Petikan kecapi dan suara Ayu Laksmi berpadu, memantul dan dipantulkan ke dan oleh penonton.

Lalu tawaran datang dari film, dimana kadang aku menyanyi, menjadi. Menjadi apapun yang dituliskan. Aku mengarungi kemungkinan-kemungkinan lain. Menjadi Ibu adalah yang paling sering datang padaku. Kadang bahkan aku tak perlu berkata-kata.” Kata Ayu Laksmi sambil duduk dengan kaki bergelayut di pinggir panggung.

Aku kadang bertanya, apa aku dan mengapa aku berubah-ubah sesuai keputusan sutradara. Aku ingat aku adalah jiwa perahu layar yang beralaskan samudra dan beratap angin. Aku menjadi perahu yang berlayar dengan tujuan. Memuat harapan dan pertanyaan. Ketika aku tiba, aku berteduh sesaat sebelum melanjutkan pelayaran.”

Ayu Laksmi lantas mengambil dua boneka. Dan katanya ; “Lalu aku tiba di rumah. Pada ibuku, yang tidak mengenal dirinya lagi.” Suara Ayu Laksmi bergetar. Ayu Laksmi menangis. “Kukumpulkan seluruh kekuatan untuk menemaninya. Di sela-sela berlayar menjadi perahu, aku sempatkan pulang selalu. Menghirup keibuannya.”

Dan aku menjadi kanak kembali, seperti menemukannya meski dalam versi yang berbeda.
Suara Ayu Laksmi masih bergetar. Tersedak-sedak.

Ibu, kini tak tahu lagi siapa dirinya, apakah lelaki ataukah perempuan,” Ayu Laksmi melepas bonekanya dan mengambil dan memeluk sekuntum bunga, “Apakah ibu ataukah ayah. Apakah penting atau tiada. Namun dia masih ada. Melalui aromanya, dan sorot matanya yang kadang melayarkanku ke masa lalu.”

Ayu Laksmi menaruh sekuntum bunganya. Lalu, …. “Ketika Ibu bukan dirinya, itu juga bagian dari dirinya. Ketika aku bukan diriku melihat ibuku, aku menjadi ibuku. Belajar menjadi ibuku, belajar menjadi bagian cerita masa lalunya.

Aku hadir Ibu, aku hadir. Aku hadir Ibu, aku hadir. Aku hadir Ibu, aku hadir. Aku hadir Ibu, aku hadir. Aku hadir Ibu, aku hadir.” Ayu Laksmi berterian manja seperti anak-anak, lalu menangis.

Aku hadir Ibu, aku hadir. Pada setiap yang ingin kau ceritakan. Pada amarah yang tak pernah kau tunjukkan tapi hanya saat ini. Saat kau lupa, menjadi siapa.

Ayu Laksmi mengambil nafas. Lalu ia menengadahkan kedua tangan. Genta bergema, layar menampilkan bait-bait yang juga disuarakan Ayu Laksmi.

Aku kini menjadi kanak. Dan akan menjadi ibu yang mungkin akan lupa pada diriku, lalu menjadi bukan lagi aku. Aku berlayar dalam ketiadaanku. Barangkali saat itu, aku tak akan pulang lagi, tapi menjadi satu dengan ayah ibuku. Tanpa waktu. Tanpa ragu.

Dan Ayu Laksmi mengakhiri teater autobiografisnya. Disambut tepuk tangan gemuruh penonton. (yum)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *