DENPASAR – Bali perlu memiliki regulasi yang handal untuk melindungi masyarakat dari risiko transaksi keuangan di era digitalisasi. Hal itu disampaikan Ketua Fraksi Gerindra-PSI DPRD Bali, Gede Harja Astawa, SH, MH, dalam membacakan pandangan umum fraksinya pada rapat paripurna DPRD Bali, Senin (23/6/2026).
Rapat paripurna mengagendakan pandangan umum fraksi-fraksi di DPRD Bali terhadap dua raperda yang diajukan Gubernur Bali. Kedua raperda tersebut yakni Raperda Provinsi Bali tentang Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Semesta Berencana Provinsi Bali Tahun 2025-2029, dan Raperda Provinsi Bali Tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Semesta Berencana Provinsi Bali Tahun Anggaran 2024.
“Terhadap program prioritas untuk menjadikan Bali sebagai Pulau Digital, dengan memperhatikan sisi lain dari digitalisasi, terutama munculnya kejahatan siber, diperlukan langkah strategis untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat/konsumen, mesti dirancang regulasi yang handal untuk mewaspadai risiko transaksi keuangan di era digitalisasi,” ujar Harja Astawa, ketika memberikan pandangan terhadap Raperda Provinsi Bali tentang RPJMD Semesta Berencana Provinsi Bali Tahun 2025-2029.
Ini berarti, kata dia, memperkuat regulasi dan mendorong infrastruktur digital yang lebih merata, hingga memastikan keandalan jaringan dan energi listrik yang juga memberi “nyawa” jaringan internet merupakan suatu keharusan, sehingga tidak hanya akan menjadi slogan semata.
Di bagian lain, Fraksi Gerindra-PSI menyoroti bidang pendidikan. Kata dia, bidang pendidikan menjadi isu strategis pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXII/2024, karena putusan ini bukan sekadar koreksi yuridis atas Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menegaskan bahwa frasa “tanpa memungut biaya” tidak dapat dimaknai hanya berlaku bagi sekolah negeri
“Ini berarti Pemerintah Daerah Provinsi Bali perlu membangun peta jalan (roadmap) yang menjelaskan strategi jangka pendek, menengah, dan panjang untuk menjamin seluruh peserta didik memperoleh pendidikan dasar secara cuma-cuma. Ini bukan sekadar soal alokasi anggaran, melainkan desain ulang kebijakan afirmatif di sektor pendidikan,” katanya.
Sedangkan untuk bidang pertanian, Harja Astawa menyinggung terkait dengan makin derasnya perubahan fungsi lahan meskipun telah ada peraturan perundang-undangan tentang LP2B dan KP2B. Menurutnya, hal itu mesti mendapat perhatian Pemprov Bali melalui penguatan di sektor regulasi Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali dan dipadukan dengan Tata Ruang Kabupaten/Kota.
Sementara menanggapi Raperda Raperda Provinsi Bali Tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Semesta Berencana Provinsi Bali Tahun Anggaran 2024, Fraksi Gerindra-PSI menyoroti realisasi Pungutan Bagi Wisatawan Asing Tahun Anggaran 2024.
Menurut Harja Astawa, meskipun Pungutan Bagi Wisatawan Asing Tahun 2024 terlampaui dengan realisasi Rp 317,88 milyar dari anggaran sebesar Rp 250,00 milyar, namun bagi Fraksi Gerindra-PSI bahwa realisasi PWA masih jauh dari potensi yang sesungguhnya.
“Berdasarkan data publikasi BPS Provinsi Bali, jumlah kunjungan wisman tahun 2024 sebanyak 6.333.360 orang, sedangkan kunjungan wisman periode 14 Februari 2024 s.d. 31 Desember 2024 sebanyak 5.685.685 orang, maka dikalikan tarif Rp 150.000 per orang, diketahui potensi pungutan wisman sebesar Rp 852,852 milyar. ”Sehingga dengan realisasi sebesar Rp 317,88 milyar hanya terealisasi 37,27% dari potensi yang senyatanya,” tandasnya.
Sehubungan dengan hal tersebut, Fraksi Gerindra-PSI menegaskan perlunya upaya sungguh-sungguh dalam menerapkan Perda No. 6 Tahun 2023 tentang Pungutan Bagi Wisatawan Asing untuk Perlindungan Kebudayaan dan Lingkungan Alam Bali. (bs)