- Esai Sejarah dr. Soegianto Sastrodiwiryo (alm.)
SINGARATA memang orang tertinggi di kota Singaraja. Tingginya 2 meter, 25 cm dan memiliki hobi mancing di pantai seharian penuh. Dia berangkat dari rumahnya di Banjar Peguyangan jam 05.00 pagi kemudian kembali saat maghrib.
Tak banyak warga yang memperhatikannya. Tapi bila dilihat dari silsilah keluarga, kakek buyutnya adalah seorang bala tentara bawahan Kumpi Anyaran Punggawa dari Peguyangan yang seangkatan dengan Kumpi Gempol yang berani melawan kekuasaan Belanda tahun 1855 kemudian ditangkap tahun 1856 dan diasingkan ke Padang, Sumatera.
Mengenai Kumpi Anyaran, dia cukup bijak memahami kekuasaan Kompeni dan bisa diajak kerjasama. Sebenarnya nenek moyang Singarata bisa dilacak sampai zaman raja pertama Buleleng yang berkuasa dari 1599 – 1680. Dan merupakan tentara kepercayaan Raja Buleleng.
Kini kita cerita tentang keanehan dan kebiasaan Singarata. Singarata di tahun 60-an amat gemar memancing di pantai laut sepanjang utara kota Singaraja. Dari Desa Peguyangan, Singarata bergerak pagi-pagi sekali membawa tasi pales panjang dan segumpal cacing yang dibawanya di atas keranjang kecil dari penjalin buatannya sendiri. Tempat-tempat yang paling disukainya adalah di bawah jembatan pelabuhan sisa peninggalan Jepang. Kemudian depan Pura Segara, depan pura Penimbangan sampai Kuburan China dekat Sekip, bekas lapangan udara peninggalan tentara Jepang.
Suatu saat, ketika sedang mancing di depan Pura Segara Kampung Bugis, Singarata mendapatkan seekor ikan besar sekali. Hampir sebesar kapal, tapi ia tak mampu menariknya. Karena takut, maka Singarata memutus tali pancingnya begitu saja dan dia lari terbirir-birit ke daratan.
Di saat lain, dia mancing di Pura Penimbangan dan perolehannya amat banyak. Singarata kembali dikejutkan oleh seekor penyu raksasa yang menggantung di pancingnya. Kembali dia memutus pancingnya dan lari ke darat.
Demikian pula ketika memancing di depan Pura Panti di Kampung Tinggi. Tali pancingnya dibelit oleh seekor ikan julit raksasa dan tali ia putuskan begitu saja. Sejak itu ia mulai enggan memancing ikan di laut.
Kemudian Singarata mendatangi seorang pemangku bernama Mangku Inten dari Banjar Bale Agung. Pemangku menerangkan dosa dan kesalahan Singarata.
“Kau nak selama ini tak pernah memberi sesaji pada Dewa Segara dan hanya menikmati hasil tangkapanmu belaka. Mulai saat ini kalau memancing bawalah bunga-bungaan dan banten serta dupa seperlunya.”
Singarata mengangguk dan mohon diri sambil mengucapkan banyak terimakasih kepada Mangku Inten. Mangku Inten kemudian masuk ke kamar sucinya dan memberi sebatang keris putih yang bercahaya agar dibawa Singarata saat mancing. Betapa gembira hati Singarata karena sejak saat itu ia damai aman-aman saja dan tangkapannya selalu berlimpah.
Setiap melemparkan tali pancing ke laut, Singarata selalu memperhatikan olakan gelombang yang menyisir pantai. Dia juga tak lupa melihat punggung batu karang yang dikikis ombak. Burung burung elang laut yang menyambar-nyambar ombakpun dia perhatikan sampai Singarata sampai pada hayalan menjadi elang laut agar bisa terbang ke tengah laut yang paling jauh.
“Ah andai kata Hyang Baruna memperkenankan aku bisa terbang seperti elang laut….”
Setiap malam Singarata sering mimpi terbang di atas laut bagaikan elang. Acapkali dia memberikan sajian di taksu keluarga sambal memohon bisa terbang bak elang laut. Menurut Singarata dia ingin dalam penjelmaan yang akan datang agar menjadi seekor burung besar saja. []
*) Penulis adalah Cendekiawan dan Sejarawan
*) Tulisan ini dikutip dari buku penulis “Lompatan-Lompatan Kebenaran”. Yang berminat bisa menghubungi HP : 0818-0533-9885