Loloan, Romantisme Kota yang Hilang

  • Esai R. Azhari *)

SESEORANG yang baru pertama kali mengunjungi kota Negara tentu akan merasakan suasana berbeda ketika mulai memasuki jalan dari perempatan (lapangan tenis) lurus sampai di ujung perempatan jalan. Sepanjang jalan dipenuhi bangunan tua yang masih utuh untuk pertokoan maupun sebagian lagi bangunan tidak dikelola oleh pemiliknya.

Separuh dari panjang jalan itu adalah pertokoan (pecinan) yang dimiliki orang Tionghoa dan selebihnya bekas hotel, pabrik, gudang, rumah penduduk dan masih di tempat berbeda bekas pelabuhan sungai. Dengan melihat fisik bangunan, sangat mudah menjelaskan bahwa pada masa lalu betapa ramai sepanjang jalan ini sebagai jantung kota dan pusat perniagaan. 

Kota ini mulai dibangun oleh masyarakat Loloan sejak permulaan abad XVIII, kian berkembang karena mempunyai daya tarik penduduknya hidup saling berdampingan memelihara kekerabatan antara satu dengan lainnya, keluar dan masuknya komoditi barang melalui pelabuhan sungai. Sebagaimana ciri perkotaan adanya pemukiman, bertambahnya penduduk, terdapat pula bangunan rumah khas orang Bugis, rumah ibadah, masjid dan sarana lainnya.

Pada aspek yang lain, kota ini semakin tumbuh karena peranan para raja-raja dalam menjalin hubungan kerja sama dan saling menguatkan yang dipraktekkan dalam urusan pemerintahan, kebudayaan, ekonomi dan kehidupan sosial lainnya.

Karena itulah dilihat dari hubungan sejarah kota ini memiliki romantisme tersendiri, terutama dari raja-raja (keluarga puri) yang selalu diingat dari cerita masyarakat apabila hendak berkunjung ke Loloan selalu melintasi jalan yang sama di areal pertokoan. Hal ini tentu mengundang perhatian masyarakat yang kebetulan berada di lokasi itu mereka berhenti sejenak sambil memberi menunduk hormat menyaksikan rombongan itu lewat. 

Pemandangan ini jadi pertanda masyarakat sepakat memberi nama ‘jalan raja’ , sekalipun tidak tertulis tetapi raja maupun masyarakat menyukai nama jalan itu.

Kota Negara adalah katagori kota kecil jika dilihat dari sebuah peta, jalan utama nampak seperti karet gelang yang direntang  dengan dua jari tangan. Jalan itu melingkar dalam kota dengan dua sisi panjang  dua ribu meter dan dua sisi lebar hanya seratus meter membujur dari utara ke selatan.

Di tengahnya ada jalan potong letak komplek bangunan Puri Negara dan berdiri pembatas patok Pal Nol kilometer dalam kota. Meski terlihat lebar jalan sempit untuk ukuran kota pada saat kini,  namun bagi pengguna jalan sangat merasakan suasana klasik ketika hilir mudik melihat bangunan tua itu.

Setelah Indonesia merdeka, raja yang selama ini mengatur dan mengelola tata pemerintahan tidak lagi berhak memimpin daerah. Periode Bupati terpilih secara demokratis mengatur peralihan sistem pemerintahan mendorong upaya ke arah perkembangan kota masa depan.

Pertumbuhan kota Negara yang cenderung berkembang ke arah selatan (Loloan) memberi  banyak persoalan yang harus diselesaikan, diantaranya dengan merelokasi pusat pertumbuhan ekonomi di kawasan sebelah timur, yakni membangun pasar, pertokoan dan terminal angkutan orang dan barang. Kini Loloan layak disebut kota dalam kota. []

*) Penulis adalah Pemerhati Budaya dari Loloan Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *