
TANPA disadari kala itu bumi sedang mengalami masa sulit. Kelaparan, wabah penyakit dan ditandai dengan banyaknya bintang berekor berjatuhan di sudut langit. Situasinya sangat mencekam. Ada yang mengatakan sebagai pagebluk.
Hanya untuk mengembalikan ingatan pada kondisi masyarakat seperti itu sebagai kesaksian kala pertama kali saya belajar membaca Alquran pada seorang ustad di sebuah kampung. Di mana orang lebih fasih mengucap kata ‘kampung’ dari pada kata ‘desa’.
Kampung ini penduduknya tidak begitu banyak. Mereka berasal dari suku bangsa Bugis. Bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan. Tidak begitu ramai hilir mudik sepanjang poros jalan satu-satunya orang berlalu Lalang. Bahkan dapat dihitung dengan bilangan jari yang melintasi jalan itu.
Sekalipun demikian, kesibukan sudah nampak terlihat pada waktu subuh di hari masih gelap. Beberapa orang pedagang ikan (belantik) mengayuh sepeda, dengan membawa dua anyaman keranjang besar. Arah tujuannya cukup jauh, ke pantai. Begitu juga beberapa orang yang lainnya beriringan menuju pasar kota.

Kampung ini memang unik sekalipun sepi. Bangunan kayu berdiri berderetan dari warisan para moyang. Hampir tak ditemukan bangunan bertembok. Selintas tampak sepi, namun dari balik itu, ada kegiatan lain yang dilakukan oleh penghuni rumah. Seperti terdengar suara alunan perangkat tenun. Bunyi kelungan bambu terkena antukan ujung tongkat sebelum alat pintal diselipkan setiap helai benang berulang kali didorong ke kiri dan ke kanan berulang kali oleh pembuat kain tenun.
Sesekali tampak tak diduga ada yang iseng dari balik jendela seorang atau lebih anak gadis sedang mengintip orang yang sedang lewat depan rumahnya. Mereka lakukan dengan cara sembunyi agar tidak terlihat dari luar. Itulah anak dara pingitan yang sedang dibatasi ruang bergaul dengan masyarakat luar.
Keseharian kegiatan mereka sangat terampil dalam membuat kain tenun sebagai kesiapan kelak akan digunakan, apabila duduk di pelaminan, saat pernikahan.
Sebagian penduduk masih menggunakan sungai sebagai sarana mandi, mencuci. Kadang terlihat pula di tepi sebelah sungai orang sedang mencari ikan dengan menebar jala. Atau ada pula yang agak berbeda cara menyauh ikan sambil membungkuk jala ditarik mundur perlahan di sepanjang tepi sungai. Itu dilakukan manakala aliran sungai sedang surut.
Pemandangan lain ketika menjelang petang (maghrib) hampir tidak ada kesibukan sama sekali orang yang lalu Lalang. Setiap pintu rumah semua tertutup dan sayup bersahutan terdengar suara orang sedang melantunkan bacaan Alqur’an. Karenanya memang tidak layak untuk berkunjung pada saat itu kecuali setelah melewati waktu isya.

Sepanjang jalan nampak sepi lengang. Hanya diterangi bohlam (lampu pijar). Cahayanya remang tergantung di tiang listrik. Begitu juga hampir setiap gang dalam kampung tak ada sama sekali lampu penerangan. Listrik masih merupakan sarana yang belum terjangkau oleh sebagian penduduk. Maka untuk menerangi dalam rumah menggunakan lampu pelita atau petromak.
Biasanya keriahan penduduk akan terlihat pada saat memperingati hari besar Islam atau hajatan keluarga. Kehadiran anggota masyarakat yang masih mempunyai ikatan keluarga atau kekerabatan meramaikan acara itu.
Pada saat itu, nampak kesederhanaan cara kaum laki berpakaian menunjukkan kekhasan orang kampung. Mereka mengenakan kain sarung dengan peci sedikit miring dan lengkap dengan alas kaki atau sandal dari kayu/kelompen. Sedangkan kaum perempuan mengenakan kain kebaya, dengan kain kerudung di atas kepalanya.
Secara geografis, dalam tata ruang perkotaan, letak kampung ini berada pada sudut kota. Tidak mempunyai akses penghubung dengan desa tetangga lainnya. Seluruhnya dibatasi pagar sawah dan sungai besar. Masyarakat hanya melalui satu ruas jalan saja dari hulu ke hilir sehingga karena itulah mengapa kampung ini begitu terisolir.
Sekalipun demikian, kampung yang sepi ini ada banyak hal yang menarik untuk diamati. Di antaranya adalah peninggalan arsitektur kebesaran tempo dahulu, berupa rumah pusaka. Rumah bertingkat utuh berdiri dan berderet di setiap jalan dan gang sebagai rumah tempat tinggal. Seluruh struktur bangunan terbuat dari bahan kayu.
Perkampungan ini mulai dibangun sejak abad ke-17 yang lalu. Usia bangunan itupun telah mencapai ratusan tahun masih berdiri kokoh dan terpelihara oleh pewarisnya. Perkampungan ini sekarang dikenal Kampung Loloan Timur. Lintasan Kampung Loloan Timur di masa lalu itu kembali dikenang oleh masyarakat lewat Festival “Loloan Gek Ane Lame”.
Festival “Loloan Gek Ane Lame” dilaksanakan di bulan Muharam, sejak tiga tahun lalu. Festival ini dimotori anak-anak muda. Tema “Loloan Gek Ane Lame” kurang lebih artinya “Loloan seperti Dahulu”. Untuk menggambarkan kondisi seperti dahulu, maka sepanjang poros jalan kampung dibuat gelap, penerangan diganti dengan lampu obor. Berjajar gubuk menampilkan penggalan kebiasaan cara atau kebiasaan orang dahulu.
Satu di antara gubuk kecil ada peragaan metanggas, yaitu berapa hari sebelum menjelang perkawinan, calon laki di tempat terpisah harus mulai berhias diri. Melumuri sekujur tubuhnya, dengan lulur boreh warna putih. Tetapi karena peragaan ini dilakukan pada malam hari, sangat menarik perhatian pengunjung. Wajahnya seperti makhluk horor.
Dari sudut lokasi, saya bertemu dengan beberapa teman mengaji. Usianya semua sudah di atas 60 tahun. Dengan raut wajah nampak lelah dan masih sempat bersenda gurau mengenang masa kecil dahulu.
Festival kali ini yang ketiga kalinya. Kesan terhadap festival malam itu sangat menghibur, sekalipun belum mewakili keberadaan masa lalu. Karena kurang kesiapan konsep dan materi peragaan. Ungkapan budaya masa lalu seperti ada yang hilang dari ingatan karena banyak yang telah ditinggalkan dan dilupakan.
Animo pengunjung yang hadir masih memiliki ikatan kultur dan budaya yang sama, sehingga belum bisa dinikmati masyarakat lain.
Sejak dibangun jembatan penghubung, maka terbukalah isolasi ke seluruh desa. Dan Kampung Loloan menjadi semakin ramai, dilintasi dan dikunjungi, yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi mikro. Tumbuh pasar kuliner. Menjadi daya tarik bagi masyarakat kota. (bs)