Berburu “Gen Super” dengan “Local Genius” Bali

  • Terinspirasi Orasi BJ Habibie …….. Bagian 1

Oleh Ir. Suprio Guntoro

TAHUN 1982. Saat itu saya tinggal di Instalasi Riset – Lembaga Kimia Nasional – LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), bekerja sekaligus melakukan penelitian untuk penyusunan tesis.

Suatu hari di bulan Desember, saya sempat membaca berita di koran Pikiran Rakyat, bahwa menjelang akhir tahun 1982, Menristek BJ Habibie akan menyampaikan Orasi Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki (TIM).

Saya tertarik untuk hadir. Bagi saya, ini amat menarik, mengingat Habibie baru beberapa tahun tinggal dan menjadi menteri di Indonesia. Dan selama itu dia dikenal sebagai pakar aeronautika (pesawat) yang telah lama hidup di Eropa.

Kok beraninya dia orasi tentang kebudayaan. Sejauh manakah pengetahuan dan pemahamannya tentang kebudayaan Indonesia?

Biasanya yang melakukan Orasi Kebudayaan pada akhir tahun di TIM, ya para budayawan, sastrawan atau seniman, seperti WS Rendra, Gus Dur, Romo Magnis Suseno atau Mochtar Lubis. Tapi kali ini yang memberi orasi adalah Prof. Dr. BJ. Habibie. Apa panitia tidak salah pilih tokoh?

Itu sebabnya, di tengah kesibukan, saya mesti menyempatkan diri datang ke TIM. Sesampai di lokasi, sudah banyak yang hadir, termasuk para budayawan dan seniman, seperti Cak Nun (penyair/dramawan), Putu Wijaya (novelis, dramawan), Ikra Negara (dramawan), Umbu Landu Paranggi (penyair asal Sumba yang tinggal di Bali), I Gusti Putu Samar Gantang (penyair), dan lain-lain.

Ternyata Orasi Kebudayaan Pak Habibie cukup menarik, tidak kalah menariknya dengan orasinya para budayawan. Dimana Habibie mampu mengurai keunggulan-keunggulan dan keunikan budaya berbagai etnis di Indonesia, mulai dari etnis Jawa, Sunda, Madura, Bali, Batak, Dayak, Bugis, Toraja, dll. Disamping itu ada beberapa pandangan yang penting dari Habibie yang sempat saya catat (ingat).

Pertama, menurut Habibie, antara kegiatan seni dan kegiatan riset, dalam perspektif steriometri (ilmu ukur ruang) ibarat 2 (dua) titik yang berada dalam satu bidang. Keduanya menurut Habibie adalah menyangkut dunia ide atau gagasan.

Maka, ide inilah yang akan menentukan kualitas hasil riset atau karya seni. Sebuah gagasan yang besar (cemerlang) jika didukung dengan dana yang memadai (besar) dan dijalankan oleh orang-orang (peneliti) yang hebat, ilmu dan pengalaman yang luas, profesional dan memiliki komitmen dan idealisme yang tinggi dengan keilmuwannya, akan dapat menghasilkan teknologi atau inovasi yang spektakuler.

Denikian pula seni, misalnya film. Jika ide ceriteranya sangat bagus, dan disutradarai dan diperankan oleh aktor yang besar dan didukung dana yang besar, maka akan bisa menghasilkan karya seni (film) yang spektakuler. Bisa meraih jumlah penonton yang tinggi, bisa meraih box office dan memenangi festival, bahkan bisa melegenda.

Kedua, Indonesia memiliki banyak suku bangsa, dan karenanya memiliki banyak ragam budaya. Habibie lantas menyebut sebuah hasil riset yang dilakukan oleh tim yang andal dari sebuah lembaga di Eropa.

Hasilnya, bahwa pada komunitas yang memiliki sense of art (jiwa seni) yang tinggi, akan ditemukan banyak local genius. Lantas Habibie menyinggung budaya dan sense of art masyarakat Bali. “Karena itu, bagi saudara-saudara yang tinggal di Bali, bisa membuktikan hal ini. Masyarakat Bali itu memiliki sense of art yang tinggi. Tentulah di sana bisa banyak kita temukan local genius. Buktikan itu,” ujar Habibie menggebu-gebu yang disambut tepuk tangan para hadirin. (Bersambung)

*) Penulis adalah Ketua Lab Inovasi Ulul Albab Denpasar, Pakar Eco-Techno Farming

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *