Makna Burdah Bagi Warga Pegayaman

  • Kolom Khusus Ketut Muhammad Suharto

KEBERADAAN burdah bagi warga Pegayaman mempunyai dua fungsi. Pertama, burdah sebagai bentuk kesenian. Kesenian ini berjalan sudah berabad-abad lamanya di Desa Pegayaman.

Bentuk kesenian ini sifatnya akulturatif dengan budaya Bali. Dari sisi lagu dan sisi busana yang digunakan pemain burdah.

Makna burdah sebagai bentuk berkesenian di Desa Pegayaman, yaitu menghadirkan suasana yang menyejukkan ketika lagu-lagu burdah mulai dikumandangkan dengan irama lagunya yang khas dan sangat akulturatif.

Syair-syair burdah yang terdapat di kitab Qosidah Burdah yang disusun oleh Syaikh Al Busyiri (dalam keadaan sakit), pada masa kehidupan beliau di Mesir pada tahun 1212-1296 M. Pada satu ketika beliau dalam keadaan sakit, kemudian dalam tidur mimpi beliau bertemu Rasulullah, dan beliau dikenakan (dipakaikan mantel/jubah kulit) oleh Rasulullah, dan kemudian beliau sembuh dari sakitnya. Pujian-pujian yang beliau susun dalam bentuk syair yang berjumlah 160 bait ini beliau beri nama Burdah.

Syair-syair yang disusun oleh Imam Al Busyiri tersebut merupakan pujian dan sholawat kepada Rasulullah SAW, sehingga memberikan sugesti kesejukan, kehangatan, dan kedamaian bagi para pembaca dan pendengarnya. Sekalipun para pembaca jarang yang memahami arti dari syair tersebut. Dengan irama dan syair yang berbahasa Arab sangat memberi kedamaian bagi para pendengarnya, seperti yang sudah berjalan selama ini di Pegayaman, dan yang biasanya dilaksanakan pada bulan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Jadi kesimpulan singkatnya, makna kesenian burdah di Desa Pegayaman ini adalah satu bentuk kesenian yang mengangkat syair Burdah sebagai dasar kegiatannya. Kesenian ini disesuaikan dengan keberadaan Islam yang ada di Bali, dengan berusaha menyesuaikan bentuknya melalui nilai akulturasi dengan budaya Bali. Irama-iramanya yang hampir mirip dengan irama kidung Bali, dan pakaian yang dikenakannya merupakan ciri khas pakaian Bali (udeng, koko, lancingan).

Dengan bentuknya yang berkarakter Bali dan dasar syairnya yang ditulis Imam Al Busyiri, kesenian burdah Pegayaman akan menguatkan nilai-nilai keimanan dan unsur dakwah di bumi Bali ini melekat di dalamnya.

Kedua, burdah sebagai pengobatan. Dalam menyikapi kondisi di bidang kesehatan, sampai sekarang masih digunakan syair burdah sebagai sebuah sarana sugesti pengobatan akhir, ketika melihat kondisi pasien sudah di ambang keputusasaan untuk kesembuhannya.

Maka dari pihak keluarga membuat acara pembacaan syair burdah untuk mohon kepada Allah SWT agar memberi keputusan bagi penderita sakit, antara disembuhkan dan atau diwafatkan dengan segera.

Hal ini sampai sekarang masih digunakan, merujuk dari kebiasaan yang selama ini dilakukan oleh para pengelingsir Pegayaman. Jadi syair burdah ini bisa untuk menghibur dan juga untuk pengobatan. []

*) Penulis adalah Pemerhati Sejarah dari Desa Pegayaman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *