Orang Pegayaman, Nyame Selam Bali Asli

  • Kolom Khusus Ketut Muhammad Suharto

ADALAH sebuah tanggung jawab bagi generasi pelanjut dalam sebuah komunitas, untuk mengungkap akan nasab (kawitan) untuk memperjelas keberadaannya. Seperti komunitas warga Desa Pegayaman.

Nasab yang jelas akan memberi semangat bagi warganya dan juga kepercayaan diri bagi generasi berikutnya dalam meraih prestasi, baik bagi diri dan atau bagi warga secara keseluruhan.

Kajian-kajian tentang sejarah adalah wajib hukumnya dilakukan. Dengan standar ilmiah. Bagaimana metode penelitian yang digunakan. Apa referensi atau rujukan  yang dipakai. Bagaimana cara membuat interpretasi kajian. Dan seperti usaha untuk menyimpulkan temuan-temuan kedalamam kesimpulan tentatif.

Satu sikap yang harus ditanamkan dalam diri seorang pemerhati sejarah adalah menganggap bahwa sejarah itu sifatnya dinamis. Jadi kesimpulan adalah data yang didapat pada akhir penelitian tersebut dilakukan. Jika dalam perjalanan ditemukan lagi data yang lebih valid, maka data tersebut seketika berubah dan mengikuti data akhir yang ditemukan.

Dalam tulisan singkat ini, penulis berusaha mencari data-data pendukung tentang nasab/kawitan dari khususnya nasab ngeluhang (perempuan) dari warga Pegayaman. Sehingga dari temuan-temuan ini minimal kita dapat bayangan, bahwa warga Pegayaman jelas purus/kawitan, purus ngodagang-nya (laki) dan purus ngeluhang-nya (perempuan).

Setelah mengetahui semua ini, satu pertanyaan mungkin yang muncul, apakah kita (warga Pegayaman-red) kemudian berbangga-bangga dengan hal tersebut dan mengagungkan sejarah nasab/kawitan kita? Tentunya hal ini harus segera dijawab dengan ungkapan tidak dan tidak.

Dengan mengetahui semua itu, insya Allah kita bisa jadikan spirit dalam kehidupan ini dengan melihat kemampuan-kemampuan pengelingsir kita (warga Pegayaman-red) terdahulu. Dan juga ketika kita (warga Pegayaman-red) mengetahui siapa diri kita sebenarnya, kepercayaan diri untuk hidup dan bergaul serta untuk berprestasi itu akan sangat kuat.

Semua itu sebagai pijakan spirit untuk berprestasi. Hal itu juga akan menjadikan senjata ampuh untuk membela diri terhadap  mereka-mereka yang berkehendak untuk memojokkan kita (warga Pegayaman-red) karena sebuah kepentinagan politik pribadi (karena jati diri kita jelas).

  • Nasab Ngeluhang Warga Pegayaman dari Pasek

Empu Lampita

Empu Gnijaya

Empu Ketek

Sanghyang Kepacekan

Empu Kepacekan

Arya Kepacekan

Kiayi Agung Kepacekan

Kiayi Pacek Gelgel

Pasek Gelgel Pegatepan

Pasek Pegatepan Gobleg

Pasek Pegatepan Depeha

Pasek Pegatepan Bebetin

Itulah kawitan warga Pegayaman kalau dirunut dari jalur nenek atau Perempuan. Katanya warga Pegayaman dari kawitan Pasek. Patut diduga kawitan warga Pegayaman dari jalur nenek adalah dari Pasek Dalem Gelgel yang menurunkan 11 anak dan disebar ke seluruh bumi Bali. Sedangan yang ke Buleleng, 3 Pasek yaitu di Gobleg, Bebetin dan Depeha.

Untuk pengembangan dan penyebaran Pasek ini dimulai tahun 1343 M. Ketika Pasek Gelgel mulai menguasai Bali dengan menjadi Adipati Majapahit di Bali. Ini sesuai dengan Kitab Nagara Kertagama yang disusun oleh Empu Prapanca dan Babad Pasek Gelgel Pegatepan. Juga keterangan dari Babad Kerajaan Panji Sakti Buleleng, serta Babad Blahbatuh.

Kemudian silsilah Pegayaman berkembang dengan masuknya sejumlah mualaf dari desa-desa tetangga seperti Silangjana, Sudaji, Penglatan, Karangasem, Tejakula, Bondalem, dan sebagainya.

  • Interpretasi

Sebuah interpretasi bisa dimunculkan ketika data-data yang kita pakai mendekati sebuah korelasi logis. Korelasi yang penulis pakai adalah pendekatan data dari foklor yang berkembang bahwa orang Pegayaman berasal dari suku Bali yang berwangsa Pasek, terutama dari nenek orang Pegayaman yang dimuallafkan. Ini artinya penelusuran wangsa Pasek harus dipertegas jalurnya. Sebab, Pasek itu banyak penurunannya. Ada sebelas Pasek di keturunan Pasek Pegatepan. Itu belum Pasek yang lain, seperti Pasek Denpasar dan Pasek lainnya. Kemudian menentukan istilah Pasek yang sesuai dengan keberadaan warga di Pegayaman.

Kenapa desa ini diberi nama Pegayaman? Karena warga desa ini berasal dari Desa Pegatepan. Dalam bahasa Jawa, gayaman menjadi pegayaman. Hal inilah yang mengundang interpretasi korelasi, istilah yang nyambung antara Pegatepan sebagai nama Pasek dan Pegayaman sebagai asal nama desa yang bermula dari Pegatepan juga.

Analisa selanjutnya, yaitu orang Pegayaman dalam berbahasa sangat tenang dan tertib, serta halus. Juga dalam pelaksanaan aturan adat sangat tertata dengan adab, seperti berbahasa, panggilan nama sehari-hari, memberi nama anak, tata krama adat dan lain sebagainya. Ini semuanya bisa dilaksanakan dan bisa dipastikan dilakukan oleh orang-orang yang sudah biasa melakukan tata krama terkontrol dari kecil, dan yang biasa melakukan hal tersebut adalah dari kalangan warga masyarakat yang punya kebiasaan halus seperti di kalangan Pasek.

Artinya minimal dengan analisa korelasi di atas, kita bisa membuat sebuah interpretasi sederhana. Bahwa nasab nenek warga Pegayaman berasal dari kalangan Pasek, yang termasuk dalam Pasek Pegatepan. Nama ini disesuaikan antara nama Desa Pegayaman dan nama wangsa kawitan nenek warga Pegayaman dari Pasek Pegatepan Gelgel, yang sudah tersebar di Bali, dan khususnya di Buleleng pada tiga tempat, yaitu Pasek Gobleg di Gobleg, Pasek Bebetin di Bebetin, dan Pasek Depeha di Depeha.

Inilah analisa dasar interpretasi saya sebagai penulis dalam membuat kesimpulan awal. Waullahu a’lam bissawab.

  • Pegayaman Bali Asli

Luas wilayah Pegayaman bila dilihat dari sejarah sampai ke perbatasan dengan Kabupaten Tabanan. Dari perbatasan Desa Padangbulia dan Desa Pegadungan, Kecamatan Sukasada, Buleleng, Bali. Akan tetapi karena ada pemekaran desa, maka Desa Pegayaman yang di ujung desa perbatasan dengan Tabanan, menjadi desa tersendiri, yang dulu lebih dikenal dengan Desa Benyah, sekarang menjadi Desa Pancasari.

Nenek moyang (pihak laki-laki) orang Pegayaman didatangkan dari Blambangan, Jawa Timur pada tahun 1648 M. (Bahkan ada yang berpendapat dengan referensi yang kuat juga, orang Pegayaman datang di tahun 1284 M. Yakni bersama datangnya pasukan gerilya Pagar Ayam yang dipimpin oleh Jaran Waha, atau yang lebih dikenal dengan Kiayi Wahab. Ia seorang pedagang Gujarat di Kerajaan Singosari, zaman Singosari Kerta Negara. Kiayi Wahab mendapat tugas untuk menaklukkan Kerajaan Ganda Pura yang pada saat itu dipimpin oleh seorang ratu yang bernama Sanghyang Adi Dewa Lancana. Ratu Ganda Pura, pemimpin Bali saat itu dengan kerajaannya berlokasi di Bali Utara, sekitar Sangsit ke selatan sampai Alas Sangket.

Keterlibatan Pegayaman dalam kerajaan di Bali ini, memberikan posisi Pegayaman sebagai desa yang memang mempunyai nilai tawar dalam pembangunan wilayah,  dari zaman kerajaan sebelum adanya Kerajaan Majapahit. Keberadaan Desa Pegayaman yang bisa dikatakan sudah 7,5 abad ini, membawa Pegayaman pada kondisi dinamika keseharian dalam nuansa nilai akulturasi dalam budaya. Semua ini disebabkan yang diawali oleh sebuah perkawinan antara tiga suku yang mendasar, yaitu suku Bali dan suku Jawa, serta suku Bugis. Ketiga suku inilah yang membuat keberadaan dalam budaya yang bersifat akulturatif.

Budaya akulturatif ini berkembang demkian adanya, tanpa pemaksaan dan tekanan dalam pelaksanaan kebiasaan keseharian. Adat istiadat yang berjalan di Bali dilaksanakan bersama oleh tiga suku ini dengan damai dan sangat dinikmati kini oleh generasi Pegayaman, sebagai sebuah kebanggaan. Tradisi yang memang harus dipertahankan.

Tradisi ini menyatu dalam konsep pemahaman yang dipadukan dalam konsep pemahaman dalam keagamaan di Islam. Konsep penyatuan pemahaman ini didasarkan pada satu filsafat dasarnya yang selalu digaungkan di Pegayaman sebagai standar filterisasi budaya, yaitu “Adat Berpangku Syara’, Bersandar Kitabullah”.

Dengan konsep ini, warga Pegayaman dalam menjalankan ibadahnya bisa merasa nyaman dan aman, serta tenang. Sebab, bisa membuat sebuah sikap dalam menjalankan aktivitas keseharian, mana aktivitas dalam agama, dan mana aktivitas dalam ibadah.

Konsep pemahaman inilah sebenarnya yang sangat penting, sehingga dalam kegiatan muammalah dan ibadah ada satu garis pemisah yang bisa memberikan nilai-nilai di masing-masing bidang tersebut. Akan merasa ada nilai barokah ketika kita mengamalkan satu budaya, sebagai sebuah kearifan lokal. Yang sudah dijalankan oleh para penglingsir Pegayaman, seperti peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Warga Pegayaman merasa akan mendapat barokah dalam mewujudkan perayaannya. Begitu juga dengan budaya lainnya yang berkembang di Pegayaman.

Warga Pegayaman merasa mendapat pahala, ketika melaksanakan apa yang menjadi kewajiban dalam ibadah, yang sudah jelas tuntunannya dalam Al-Qur’an dan hadist, dan itu diajarkan dengan tuntunan oleh para guru-guru ngaji di Pegayaman dan di pondok pesantren. Jadi Pegayaman, alhamdulillah sudah mampu memahami dan memisahkan antara budaya dan agama.

Semua tindakan warga Pegayaman yang sangat Bali ini membuat mereka merasakan bahwa warga Pegayaman adalah warga Bali asli. Sebab, dari nama warga yang memakai nama Bali (Wayan, Nengah, Nyoman, Ketut), bahasa memakai bahasa Bali, budaya menggunakan budaya Bali, adat memakai adat standar Bali. kesenian bernuansa Bali, dan semua berjalan begitu adanya tanpa dibuat-buat untuk sebuah kepentingan.

Dengan kenyataan yang berjalan sampai sekarang di Pegayaman, kami (warga Pegayaman-red) merasa bukan kaum minoritas. Apalagi kalau kami dikatakan sebagai pendatang dan sebagai krama tamiu. Kami, warga Pegayaman, ini ikut mewujudkan Bali menjadi pulau Bali dari zaman Singosari hingga sekarang. Kami ikut mewarnai Bali.

Pegayaman adalah Bali asli dengan gaya Pegayaman, mengajegkan Bali dengan gaya Pegayaman. Ini harus diakui secara sportivitas. Sebab, sejarah mencatat hal ini. Jika ada yang bicara tentang Buleleng, maka Pegayaman tidak akan lepas dari perbincangan di dalamnya. Bahasa sederhananya “Kalau tidak ada Pegayaman, maka Buleleng tidak ada”.

Maka mari kita (warga Pegayaman-red) berbuat hari ini untuk kedepan, sebagaimana orang tua kita juga berbuat seperti itu. Para kumpi bukit Pegayaman mengabdikan dirinya untuk kerajaan dengan maksimal yang dijuluki dengan Sri Aji Kumpi Bukit Sitindih. []

*) Penulis adalah Pemerhati Sejarah dari Pegayaman

Referensi.

  • (Kekawin Desa Wanana) Kitab Nagara Kertagama oleh Empu Prapanca, alih bahasa oleh Prof. Dr. Drs. Ketut Riana, S.U.
  • Buku Dinamika Bali oleh Ir. Ketut Darmaya
  • I Gusti Angglurah Panji Sakti oleh dr. Soegianto Sastrodiwiryo
  • Jejak Islam di Bali oleh dr. Soegianto Sastrodiwiryo
  • Buku Lombok Abad XIX, Politik Perdagangan dan Komflik di Lombok 1831-1891 oleh Profesor I Gede Parimartha

3 tanggapan untuk “Orang Pegayaman, Nyame Selam Bali Asli

  1. Pengungkapan spt ini sangat manfaat. Bila perlu diperluas medianya, termasuk fijadikan buku. Saya msh ingat waktu sekolah di SMEP dulu di Sgr. Saya ketemu teman namanya Ketut Asyari. Saya heran knp kok orang Bali (laki2) dan namanya Asyari beragama Islam lagi. Padahal secara geografis bertetangga dekat. Saya dari desa Lemukih. Dia dari Pegayaman, bertemu di Kampung Tinggi, lokasi SMEP itu. Itulah, krn masa kecil kurang tahu sejarah atau tutur2 dari Tetua kita. Jadinya tak tahu ada desa atau nyame yg beragama Islam di seberang bukit saja. Klo ada waktu saya pingin anjangsana ke Desa Pegayaman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *