Al-Qur’an Tulisan Tangan Encik Ya’qub

  • Catatan Eka Sabara, S.Pd.I

PRASASTI Loloan membuka tabir adanya sebuah Al-Qur’an tulisan tangan Encik Ya’qub. Al-Qur’an yang disebutkan dalam prasasti sudah sejak lama raib dari masjid. Tidak jelas siapa yang memindahkan Al-Qur’an yang kabarnya dikemas dengan kulit kambing dan tersimpan rapi dalam kotak berukir. Peneliti dari Malaysia Zaidah Mustapha pada tahun 1975 gagal menemukan obyek penelitiannya tersebut.

Pada tahun 1976 terjadi gempa di Jembrana sehingga masjid yang ada di barat sungai dan di timur sungai terkena dampaknya dan menara-menara masjid rubuh. Pencarian akan keberadaan Al-Qur’an tersebut segera dilakukan.

Setelah melalui pencarian yang tak kenal lelah, usaha ini membuahkan hasil. Melalui perjuangan yang tak kenal lelah dan jasa yang sangat mulia dari Husin Jabbar, seorang tokoh masyarakat Loloan, maka Al-Qur’an tulisan tangan Encik Ya’qub berhasil ditemukan menjelang waktu Ashar pada tanggal 15 Oktober 1979.

Semasa hayatnya, H. Husin Jabbar tak pernah lupa akan peristiwa hari itu. Dengan suara yang dalam H. Husin Jabbar mengisahkan peristiwa tersebut. Kenangan perasaan lamanya seperti terulang kembali. Ketika diwawancarai oleh Brandan (1995), seputar penemuan Al-Quran yang dimaksud, beliau bercerita:

Waktu pertama melihat Al-Qur’an tulisan tangan itu, saya langsung membekapnya erat-erat. Subhanallah…. hanya itu yang terucap dari mulut saya. Saya bersyukur pada Allah SWT karena pencarian saya tidak sia-sia. Saya percaya Al-Qur’an ini akan membawa keberkahan. Saat itu juga air mata saya berlinangan. Dua tahun saya mencarinya.” (Brandan, 1995:36).

Alm. Husin Abdul Jabbar (kiri) dan Muhayarin bin H Husin Jabbar (kanan)

.

Pencarian Al-Qur’an tulisan tangan yang tertera pada Prasasti Loloan dari tahun 1977-1979 yang dilakukan Husin Abdul Jabbar merupakan sebuah potret sederhana, namun mulia tentang ikhtiar anak manusia yang mencoba berkiprah menyemarakkan syiar Islam di kampungnya. Kini, lengkap sudah “amanah” dari Tuan Guru Encik Ya’qub. Sebuah Al-Qur’an, kitab suci petunjuk umat manusia di bumi; sebuah prasasti, yang memberi inspirasi.

Perjuangan Encik Ya’qub di Jembrana di masa lalu rupanya dilacak pula oleh kerabat dan keturunannya dari Malaysia. Maka pada tahun 1987, rombongan yang terdiri atas para petinggi Malaysia bersama Majelis Ulama Trengganu, yang dipimpin oleh Datuk Haji Moh. Saleh Bin Awang, memerlukan datang ke Kampung Loloan, Kabupaten Jembrana, Bali. Rombongan ini kemudian diantar ke Pondok Pesantren Mambaul Ulum.

Al Qur’an tulisan tangan Encik Ya’kub. Nomor Inventaris: 1/14-01/BND/14. Ukuran panjang: 49 cm, tinggi: 31 cm, tebal: 8 cm (Dokumentasi: Eka Sabara 20 Juli 2013)

Rombongan datang ke pesantren, selain hendak bersilaturrahmi dengan masyarakat Islam setempat, juga untuk satu hal yang kedengarannya sederhana; mencari tahu makam Encik Ya’qub. Diperoleh jawaban bahwa makam Encik Ya’qub tersebut berada tepat di bawah mihrab Masjid Baitul Qadim.

Pesantren itu sendiri bukanlah warisan dari Encik Ya’qub, akan tetapi atas warisan dari pengajaran beliaulah maka bahasa Melayu digunakan di pesantren itu. Di pesantren, rombongan dari negeri jiran ini disambut meriah oleh para santri dan warga di sana. Bahkan para santri menyuguhkan atraksi silat Melayu lengkap dengan iringan kendangnya.

Rombongan juga melakukan silaturrahmi ke Masjid Mujahidin Loloan Barat disambut oleh Ketua Takmir Masjid Mujahidin H. Nuryasin, H.S. Mustafa Al Qadri, selaku anggota DPRD TK II Jembrana, serta bersama Bupati Jembrana saat itu Bapak Ida Bagus Ardhana, serta para tokoh dan ulama Loloan Barat. Sepanjang jalan masuk ke Masjid Mujahidin rombongan menyaksikan barisan atraksi silat Bugis dari persatuan Silat Bujang Intan asuhan Guru H. Asyikin.

Dari rombongan peneliti asal Malaysia tersebut yang dipimpin oleh Zaidah Mustapha, diketahui bahwa mereka memperoleh informasi tentang keberadaan Encik Ya’qub dan tentang Prasasti Encik Ya’qub di Loloan melalui artikel jurnal “The Loloan Community of Bali: Some Ethnographic Notes” (Zaidah Mustapha, 1984), sehingga kunjungan mereka ke Loloan adalah untuk melacak keberadaan tokoh yang disebutkan dalam artikel itu.

Sebelum kedatangan rombongan dari Trengganu Malaysia, memang sudah ada kunjungan-kunjungan pendahuluan dari Tim Peneliti Sejarah dan Kebudayaan Masyarakat Melayu pada tahun 1975, disusul dengan kunjungan Datuk Haji Mohamad Saleh bin Awang, yang menjabat sebagai Bendahara Kesultanan Trengganu dan juga merangkap sebagai Ketua Majelis Ulama Trengganu, Malaysia bulan Juli tahun 1987.

Peristiwa kunjungan ini menarik karena dari hasil penelitian sebelumnya oleh Zaidah Mustapha di tahun 1975-1980 diketahui bahwa Encik Ya’qub adalah sosok figur Mubaligh Trengganu yang banyak meninggalkan karya tulis keagamaan di Jembrana.

Kendati demikian, “sejarah” Encik Ya’qub ini dirasa belum lengkap, karena kisah masa hidupnya di Trengganu seolah terputus. Encik Ya’qub memang telah “menghilang” dari Trengganu untuk kemudian pergi mengembara. Ujung-ujungnya terbetik berita bahwa periode “menghilangnya” Encik Ya’qub ini ternyata adalah ketika beliau berlayar ke Kampung Loloan dan menetap di daerah baru ini untuk mengembangkan syiar Islam hingga akhir hayatnya.

Dengan terlacaknya keberadaan Encik Ya’qub di sisa hidupnya di Loloan, Jembrana, maka dikirimlah rombongan peneliti Malaysia ke Bali, tepatnya di Loloan Jembrana. Puncaknya adalah pada saat kunjungan rombongan petinggi Majelis Ulama Malaysia dari Kementrian Agama Malaysia tersebut (Reken, 1979:13; Brandan, 1995:30).

Encik Ya’qub merupakan Ulama Besar Melayu Nusantara yang berasal dari Trengganu Malaysia. Beliau seorang ulama terkenal di negeri tersebut, yang akhirnya dengan ikhlas tinggal di Loloan, karena itu nama Loloan saat itu sebagai Barometer Pusat Pengajaran Agama Islam di Bali pada jaman Nusantara lama.

Masyarakat Loloan saat itu sebagai komunitas pertama memperkenal pemakaian bahasa Melayu di Pulau Bali. Berkat kehadiran Encik Ya’qub sebagai ulama di Loloan yang mengajarkan tulis-menulis menggunakan huruf Arab Pegon dengan menggunakan bahasa Melayu Pegon sebagai sarana komunikasi dalam mengajarkan ilmu agama di Jembrana.

Banyaklah utusan-utusan juru tulis dari kerajaan di luar Jembrana yang meminta bantuan untuk menuliskan surat-surat resmi kerajaan dengan bertuliskan huruf abjad Arab serta berbahasa Melayu Pegon. Surat-surat tersebut jelas ditujukan kepada pihak luar pulau Bali.

Sehingga di abad ke-18 Masehi, tulisan aksara Melayu Pegon mulai mendapatkan tempatnya di kerajaan-kerajaan yang ada di Bali, dengan ditemukannya bukti-bukti surat Raja Bali kepada Raffles dengan aksara Arab.

Bukti asli surat dari Seri Paduka Ratu Gusti Anglurah Gede Karang dari Bali kepada Raffles ditulis dalam abjad Arab (Jawi), atau di masa zaman Nusantara lebih dikenal dengan nama bahasa Melayu bertuliskan aksara Arab Pegon. Tertanggal 7 Rabiul Awwal 1226 Hijriyah atau tanggal 1 April 1811 Masehi.

Surat Raja Bali kepada Raffles, sumber Digitiset Manuscript from English Library

Di sisi lain perhatikan kop surat “UcapanNya adalah Kebenaran”. Ini diambil dari Firman Allah dalam Surat Al An’am ayat ke-7 yang artinya “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Di hari Dia mengatakan, “Jadilah”, terjadilah, ucapan-Nya adalah kebenaran.

Peranan Penting Encik Ya’qub di Loloan Kabupaten Jembrana yaitu :

Pengabdian dan perjuangan dakwah Encik Ya’qub semasa hidupnya di Loloan meninggalkan warisan yang terpelihara baik hingga sekarang, yaitu  berupa:

  1. Prasasti dalam bahasa Melayu yang ditulisnya dengan huruf Arab yang disebut Prasasti Loloan, yang merupakan Ikrar Wakaf yang tertua di Bali. Prasasti ini berisikan peristiwa pewakafan tanah untuk wakaf Masjid Loloan.
  2. Mewakafkan sebidang tanah sawah miliknya untuk Masjid Jembrana yang kemudian diberi nama Mesjid Baitul Qodim.
  3. Sebuah kitab Al-Qur’an tulisan tangan (Al-Qur’an ini pernah ditampilkan kepada masyarakat pada waktu berlangsung-nya pameran Festival Istiqlal II di Jakarta).
  4. Tombak Bandrangan tersimpan di rumah keturunan Encik Ya’qub. Tombak ini adalah senjata pusaka yang digunakan ketika berperang melawan tentara musuh.
  5. Mempopulerkan bahasa Melayu sebagai sarana komunikasi dalam berdakwah. Encik Ya’qub menggunakan bahasa Melayu dan tulisan aksara Arab Pegon dalam berdakwah dan mengajarkan ilmu agama sehingga pada masa tersebut bahasa Melayu lebih dominan di kalangan masyarakat muslim di Jembrana daripada bahasa Bugis, yaitu bahasa ibu masyarakat Bugis yang telah terlebih dahulu datang dan menetap di Jembrana.
  6. Memperkenalkan dan mengajarkan cara penulisan aksara Arab Pegon kepada masyarakat Jembrana, yaitu bahasa Melayu yang ditulis dalam huruf Arab, sebagai sarana komunikasi tertulis pada masa Nusantara.
  7. Encik Ya’qub memperkenalkan dan mengajarkan kepada masyarakat suku Bugis Loloan ketrampilan baca tulis dengan metode penulisan huruf Arab berbahasa Melayu (bahasa Arab Pegon), sehingga dalam kesehariannya kemudian masyarakat Loloan lebih akrab dengan bahasa Melayu.
  8. Encik Ya’qub dikatakan memiliki karomah, yaitu jika ludahnya terkena seseorang maka orang tersebut akan mati. Untuk itu, di manapun Encik Ya’qub berada, beliau selalu membawa tempat untuk meludah.

Makam Encik Ya’qub berdampingan dengan makam Tuan Guru Moyang Khotib. No Inventaris : 4/14-01/STR/11 P : 177 cm, L : 80 cm, T : 36 cm2 (Dokumentasi: Eka Sabara, 20 Juli 2013)

*) Penulis adalah Budayawam dari Loloan Barat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *