Oleh Ketut Muhammad Suharto
KEBANGGAAN diri menjadi incaran semua insan. Apalagi jika ia mengerucut menjadi kebanggaan keluarga, masyarakat dan negara. Mencari dan menjadikan sebuah kisah dan atau sejarah sebagai sebuah kebanggaan jati diri hereditas (nasab keturunan) adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap individu. Oleh pelaku kehidupan yang akan memunculkan sejarah, dan dinikmati oleh generasi selanjutnya. Menjadi sebuah nasab cerita yang mengantar mereka pada posisi-posisi kebanggaan pribadi akan jati dirinya.
Secara pribadi, penulis merasa bangga memiliki sejarah purus nasab jati diri sebagai warga desa, Pegayaman, yang berasal dari Kerajaan Blambangan yang direkrut oleh seorang raja yang sangat bijaksana, yaitu Raja I Gusti Anglurah Panji Sakti.
Kebanggaan ini menjadi cerita-cerita menarik di tengah warga masyarakat Pegayaman, khususnya dan di kalangan semua pemerhati sejarah. Ulasan cerita dengan bumbu-bumbu kejadian mewarnai kisah tersebut. Sesuai dengan tempat dan kejadiannya. Pada masing-masing generasi yang berbeda, sejak kedatangan Aji Kumpi Bukit Sitindih (Ini istilah dari Anak Agung Panji Tisna untuk menyebut leluhur Pegayaman, dalam suratnya yang ditujukan kepada Bapak Ketut Daimudin Hasyim pada tahun 1977. Juga ini istilah yang disebut dalam Babad Buleleng yang disadur oleh Wayan Suprah, Penerbit Yayasan Hindu Bali Denpasar, Badung tahun 1974 pada halaman 24).
Pengakuan peran Pegayaman dalam sejarah Kerajaan Buleleng ditulis di dalam babad, di Catatan Belanda, berkembang dalam foklor, dan tertuang dalam naskah-naskah sejarah. Itu semua bukti yang membenarkan deretan kisah peran Pegayaman dan Aji Kumpi Bukit Sitindih dalam dinamika sejarah perkembangan Kerajaan Buleleng.
Beberapa kisah atau peristiwa berikut sangat menarik dikaji. Sebab, pada peristiwa-peristiwa ini mendukung dan memperkuat keberadaan Desa Pegayaman.
A. Tirta Ketipat
Keberadaan tirta ketipat dikisahkan dalam babad perjalanan Ki Barak (nama kecil I Gusti Anglurah Panji Sakti). Sebuah cerita menarik. Ketika Ki Barak berada di wilayah Pegatepan yang merupakan wilayah yang diberikan kepada Kumpi Bukit untuk lokasi pertahanan Kerajaan Buleleng. Dan ini sudah diisyaratkan oleh Panji Sakti di usia 12 tahun pada tahun 1611 (dimuat dalam buku dr. Sugianto Sastrodiwiryo yang berjudul I Gusti Anglurah Panji Sakti Raja Buleleng 1599 – 1680).
Apakah ini sebuah kebetulan bagi warga Pegayaman menempati lokasi ini yang langsung diberikan oleh raja pada saat itu? Ini mungkin pertanyaan yang muncul.
Sebab, perjalanan Panji Sakti menuju Den Bukit melintasi posisi yang ditempati oleh warga Pegayaman sekarang. Cerita ini menjadi foklor yang berkembang, dan dikisahkan turun temurun oleh para penglingsir Pegayaman kepada anak, cucu dan keturunannya secara berantai, sehingga cerita ini dari generasi ke generasi kuat menjadi sebuah prasasti-prasasti yang terpatri di otak generasi Pegayaman.
Cerita ini menjadikan ilmu dan keyakinan yang dibanggakan oleh warga Pegayaman. Kebanggaan akan cerita ini, jangan sampai dikaburkan oleh sebuah kepentingan politik sesaat. Sebab, ini adalah sebuah kisah jati diri proses keberadaan Desa Pegayaman. Juga cerita Desa Kembang Merta, Desa Benyah, Jalan Batu Mejan, dan Tirta Ketipat. Semua ini rangkaian kisah yang ada dalam sejarah perkembangan Desa Pegayaman.
Wilayah Pegayaman diberikan oleh Raja Panji Sakti kepada para pengawal kesatria yang direkrut dari Blambangan. Mereka diberi kuasa untuk membuat batas wilayah dan menjaganya.
Para kesatria ini membuat batas wilayah Buleleng dari arah selatan pada zaman Kerajaan I Gusti Anglurah Panji Sajti. Sebagaimana diungkapan salah seorang keturunan Raja Panji Sakti, yakni AA Dino Supriadi yang kini tinggal di Puri Lovina. Pada tanggal 22 Pebruari 2023 lalu, beliau berkunjung ke rumah penulis. Beliau mengatakan bahwa “Jika tidak ada Pegayaman, maka tidak ada Buleleng.”
Pernyataan AA Dino Supriadi ini singkat dan padat, tapi memiliki makna yang sangat luas. Bahasa ini menyimpulkan peran Pegayaman yang sangat penting dalam keberadaan Kerajaan Buleleng. Pegayaman merupakan sendi keamanan Kerajaan Buleleng.
Dalam membuat batas wilayah, diceritakan oleh penglingsir Pegayaman Bapak H. Bilad, bahwa Kumpi Bukit berucap “Sampe dini due see ngembangan wilayah, merte see kenehe”. Ini bahasa Pegayaman yang artinya “Sampai di sini saja sudah mengembangkan wilayah, lega sudah rasanya.”
Batas wilayah yang dibuat para penglingsir Pegayaman, Kumpi Bukit, tersebut sekarang berada di desa sebelah bernama Desa Kembang Merta, Tabanan. Desa ini berbatasan dengan Desa Benyah (Pancasari sekarang). Penduduk Desa Pancasari awalnya dihuni oleh orang-orang Pegayaman dan Padangbulia. Inilah warga penduduk asli Desa Pancasari (dulu namanya Benyah). Sampai sekarang, di perbatasan Tabanan dengan Buleleng masih ada penduduk tersebut, dari keturunan guru Dulah. Tinggalnya di sebelah timur jalan, dan sebelah barat warga dari Padangbulia.
Di Desa Pancasari, ada kisah sejarah tentang sumur tua di pinggir danau. Sumur tua tersebut dulu dibuat oleh warga suku Bugis, Karang Sufi. Ia memiliki tanah dari pinggir jalan sampai ke Dasong. Inilah cerita rakyat kebanggaan warga Desa Pegayaman yang masih diingat dan diceritakan secara turun-temurun.
Selain itu, ada batu mejan. Batu mejan dikisahkan sebagai jalan naiknya Ki Barak menuju Den Bukit. Di atas batu mejan ini terdapat tirta ketipat. Batu mejan ini digunakan oleh warga Pegayaman sebagai tempat memotong jalan menuju Desa Benyah (Pancasari) dan dari Desa Benyah menuju Pegayaman.
Kenapa disebut batu mejan? Karena undakan jalannya seperti tangga. Tangga bahasa Bali-nya jan, sehingga dinamakan batu mejan. Begitulah sejarahnya.
B. Panji Landung
Dalam Babad Buleleng diceritakan bagaimana perjalanan Ki Barak Panji Sakti ketika menuju ke arah Den Bukit, yang merupakan perintah ayahnya, Dalem Sagening, pada tahun 1611 M. Perjalanan Ki Barak tersebut dikawal empat puluh pengawalnya dan didampingi oleh ibunya, Ayu Pasek dari Desa Panji. Perjalanan tersebut dipimpin oleh dua orang, yaitu Ki Dosot dan Ki Dumpyung.
Dalam perjalanannya tersebut Ki Barak Panji Sakti diberikan dua pusaka, yaitu sebuah tulup yang di ujungnya berisi tombak bernama Ki Tunjung Tutur, dan sebilah keris bernama Ki Bayu Semang. Kedua senjata inilah yang menjaga beliau dan mengantarkannya kepada kejayaannya sebagai Raja Buleleng.
Dengan dikawal 40 orang, tentunya keamanan Ki Barak sangat terjaga. Dan nasehat-nasehat para pengawal, terutama dua pimpinannya Ki Disot dan Ki Dumpung, sangat berperan untuk membesarkan hati Ki Barak dalam perjalanannya di usia yang baru balig (menginjak dewasa), sutau masa yang sangat penuh panca roba secara kejiwaan.
Dalam perjalanannya menembus belantara, hingga sampai di batu mejan dan menaiki jalan tersebut menuju posisi datar, selanjutnya Ki Barak dan pengawalnya istirahat dengan membuka perbekalan atau takilan-nya.
Ketika membuka bekal, ternyata bekal airnya sudah habis. Para pengawal diperintahkan untuk mengambil air ke Danau Buyan. Saat itu, Ibu Ki Barak menancapkan Ki Tunjung Tutur ke tanah. Ketika tulup dicabut, memancarlah air. Sampai sekarang tempat tersebut diberi nama tirta ketipat. Ada juga cerita versi lain, yang mengatakan, bahwa yang ditancapkan adalah keris Ki Bayu Semang.
Setelah beristirahat dan menikmati takilan-nya, Ki Barak dan rombongannya kembali meneruskan perjalanan menuju ke arah barat. Dalam perjalanan tersebut, K Barak melewati gundukan yang datar di ketinggian yang namanya Asah Panji. Di sinilah kisah Panji Landung terjadi.
Dikisahkan bahwa Ki Barak diangkat oleh sosok raksasa yang disebut Panji Landung. Panji Landung mengenalkan wilayah yang akan menjadi kekuasaan Ki Barak ke depan. Dari wilayah Den Bukit bagian timur sampai wilayah Jawa Timur, yaitu Blambangan. Akan tetapi, diceritakan, saat Ki Barak menghadap ke selatan, yang dilihat kabut hitam. Seketika Ayu Pasek sebagai ibu menjerit dan berteriak agar Ki Barak turun dari pundak Panji Landung. (Begitulah dalam cerita legenda yang berkembang selama ini).
Akan tetapi, mungkin tidak salah jika penulis menafsirkan, bahwa peristiwa tersebut merupakan sebuah sumpah Ki Barak tentang keinginannya di masa depan. Bisa saja ini muncul dari nasehat para pengawal beliau untuk berpikir besar kedepan, dengan penguasaan wilayah untuk menjadi raja. Sebab, beliau adalah keturunan Raja Gelgel, Dalem Sagening.
Jadi kisah Panji Landung ini penulis tafsirkan sebagai sumpah awal Ki Barak untuk penguasaan wilayah. Saat itu usia Ki Barak baru 12 tahun. Sumpah tersebut bisa disebut dengan istilah sumpah Panji Landung. Dengan visi “Penguasaan Wilayah Den Bukit”. Dengan misi “Menguasai Wilayah dari Timur Den Bukit sampai Kerajaan Blambangan.”
Pada akhirnya visi dan misi Ki Barak tersebut dibuktikan. Ketika mulai berumur 20 tahun, dengan mmembuat kerajaan kecil di Desa Panji pada tahun 1620 M. Kemudian kerajaannya pindah ke Sukasada pada tahun 1629 M. Dengan penguasaan wilayah dari timur ke barat, hingga tahun 1648 M. Lantas menyerang Kerajaan Blambngan, dan pada tahun 1649 M membuat Puri Buleleng. (Seperti diceritakan dalam buku dr. Sugianto Sastrodiwiryo).
Kisah kedatangan penglingsir Pegayaman dimulai dari tahun 1648 M. Kerajaan Buleleng saat mulai berdinamisasi dalam penyusunan kekuatan untuk membangun kerajaan yang berwibawa. Sebanyak 100 laskar direkrut dari Blambangan dan ditempatkan di Pegayaman, sebagai petugas penjaga sendi keamanan kerajaan dari arah selatan sampai perbatasan wilayah Tabanan.
Pegayaman mempunyai wilayah yang sangat luas sebagai benteng pertahanan, tempat garapan, tempat hunian. Bisa jadi seluas 2.000 hektar. Sekarang sisa wilayah menjadi 1.598 hektar, setelah dimekarkan menjadi Desa Benyah (Pancasari). Wilayah Pegayaman dikenal juga sebagai hutan gege, sebagai wilayah pertahanan dari serangan musuh arah selatan.
Cerita di atas adalah rujukan kami sebagai generasi Pegayaman dalam menyikapi berdirinya Patung Panji Landung. Kami khawatir karena berdirinya Patung Panji Landung di Desa Pegayaman, di jalur shortcut, tidak sesuai dengan sejarahnya.
Bahwa posisi berdirinya Patung Landung tersebut seharusnya bukan di wilayah pegatepan (Pegayaman), melainkan di Asah Panji, Asah Munduk sebelah barat.
Bahwa Patung Panji Landung yang didirikan sekarang ini menghadap ke arah larangan Ayu Pasek, ibunda Ki Barak, yang merupakan wilayah Kerajaan Ayah Ki Barak pada saat itu, yakni Dalem Sagening.
Bahwa berdirinya Patung Panji Landung menyimpang dari visi dan misi awal Ki Barak Panji Sakti saat membuat konsep Kerajaan Buleleng.
Bahwa Patung Panji Landung seharusnya menghadap ke wilayah Den Bukit, juga menghadap ke laut, dengan sasaran obyek penguasaan wilayah daratan timur Den Bukit sampai ke wilayah Blambangan, Jawa Timur.
Dari kenyataan tersebut, kami sebagai generasi Pegayaman, sebagai penulis dan sebagai pemerhati sejarah merasa khawatir ada upaya penggeseran dan pengaburan sejarah. Bisa jadi cerita-cerita awal mula pendirian Kerajaan Buleleng akan bergeser. Ada pengaburan dari kenyataan sejarah yang sesungguhnya. Sebab, Patung Panji Landung yang dibangun sekarang ini,nanti 50 tahun kedepan dibuat kabur dan membias dengan analisa yang tidak berdasarkan data valid.
Sehingga jati diri sejarah purus-purus komunitas pendukung Kerajaan Buleleng akan samar dan menghilangkan jati diri para komunitas pembela kerajaan yang ada sampai sekarang.
Penulis hanya ingin menggugah para pemikir dari semua disiplin ilmu, untuk bersama memikirkan generasi kedepan. Sebab, penjajahan akan gampang dan sangat mudah dilakukan oleh yang punya kepentingan, ketika sejarah bangsa itu dikaburkan. Karena jati diri mereka sudah tidak jelas.
Penulis hanya ingin memohon agar tulisan ini menjadi pemikiran kita bersama. Hanya ini yang mampu penulis lakukan. Semoga dalam kelemahan ini, ada sebuah energi yang dimunculkan untuk mencari solusi yang bisa mencerahkan para generasi kita, dan terhindarkan dari musibah dan bencana-bencana.
Salam harmoni dari penulis, “Generasi Penerus Aji Kumpi Bukit Bukit Sitindih”. (Bukit Pegatepan, Jumat, 24/02/2023)
Alhamdulillah sejarah keberadaan pegayaman masih ada generasi yg peduli dan menjadikannya sebuah tulisan sehingga generasi kedepan bisa menyampaikan dan tidak melupakan sejarah pegayaman yg seutuhnya, Terima kasih bang To semoga apa yg anda tulis akan menjadi monumen utk generasi yg akan datang, terus berkarya karyamu adalah monumen mulai