- Beragam Suku dalam Masyarakat Muslim Tegallinggah Bali
SELAIN suku Bugis yang diyakini sebagai cikal bakal terbentuknya masyarakat Muslim Tegallinggah, Desa Tegallinggah, Kecamatan Sukasada, Buleleng, Bali, ada suku-suku lain di dalamnya. Di antaranya suku Jawa dan Bali. Bahkan dalam masyarakat Muslim Tegallinggah ada keturunan Bali age, yakni dari Sidatapa dan Pedawa.
Dalam Focus Group Discussion (FGD) Temuan Awal Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Desa Tegallinggah yang dilaksanakan di Masjid Jami’ Al Miftah Tegallinggah, Jumat (6/1/2023), tokoh Muslim Tegallinggah, Jaelani, menguraikan bagaimana beberapa suku membentuk masyarakat Muslim Tegallinggah.
Jaelani menjelaskan, Muslim Tegallinggah awalnya dari Bugis. Di bawah pimpinan Sayyid Umar. Mereka diperkirakan 5 sampai 10 orang. Sebelum ke Tegallinggah, orang-orang Bugis ini sempat tinggal di Tukadmungga. Itu dibuktikan dengan keberadaan makam Sayyid Umar di Tukadmungga.
Untuk membiayai kehidupan sehari-harinya, komunitas Bugis ini mencoba bertani. Karena Tukadmungga dirasa kurang cocok untuk pertanian, komunitas Bugis ini menuju ke arah selatan. Membabat hutan. Ketemulah wilayah yang dinamakan Kubu. Di daerah ini, komunitas Bugis tersebut mengembangkan pertanian, yang nantinya menjadi cikal bakal keberadaan Muslim Tegallinggah.
Menurut Jaelani, di dalam masyarakat Muslim Tegallinggah sebenarnya yang lebih banyak adalah warga pribumi (atau Bali). Warga pribumi Bali Hindu tersebut kemudian menjadi muallaf, menjadi Muslim. Jaelani memperkirakan jumlahnya 80 persenan dari total Muslim Tegallinggah.
Kenapa mereka masuk Islam? Dalam analisa Jaelani, orang Bugis yang datang ke Tegallinggah bukan orang sembarangan. Mereka adalah pendakwah, yang berdakwah baik di dalam internal komunitas mereka maupun berdakwah ke komunitas eksternal mereka.
Berdakwahnya lewat perdagangan, pengobatan maupun pertanian. Bagaimana hebatnya orang-orang Bugis ini berdagang. Bagaimana mereka mempunyai kemampuan mengobati penyakit. Bagaimana hebatnya mereka bertani.
Dalam berdagang, misalnya, orang-orang Bugis ini membangun saling percaya dengan masyarakat Hindu. Saudara-saudara Bali Hindu diberikan modal berdagang oleh orang-orang Bugis ini jika mereka tidak mempunyai modal.
Juga dalam bertani. Menurut Jaelani, orang-orang tua Tegallinggah yang dari Bugis mempunyai keahlian bagaimana harus memulai menanam. Mereka tahu kapan akan turun hujan. “Mau hujan seminggu lagi mereka tahu. Hujan akan turun sebulan lagi, mereka tahu.”
Kalau ingin hasil bertanamnya bagus, orang-orang Bugis memberitahu caranya. Misalnya kalau ingin tanaman buah menghasilkan buah-buah yang bagus, diajari caranya. Kalau ingin tanaman bunga menghasilkan bunga-bunga yang bagus, ditunjuki cara menanamnya.
“Makanya, orang-orang Bugis Tegallinggah di zamannya dijadikan pedoman dalam bertani oleh lingkaran umat Hindu yang ada di sekitarnya,” tutur Jaelani.
Selain lewat berdagang dan bertani, orang-orang Bugis melakukan dakwah lewat pengobatan. Zaman dulu belum ada yang namanya Puskesmas atau rumah sakit. Orang-orang Bugis menolong orang-orang sakit dengan pengobatan tradisional. Banyak perempuan-perempuan yang melahirkan dibantu.
“Itulah kehebatan orang-orang Bugis Tegallinggah. Makanya warga di sekitar Tegallinggah menganggap mereka sebagai keluarga,” jelas Jaelani.
Dengan dakwah orang-orang Bugis semacam itu, banyak warga Hindu yang masuk Islam. Baik warga Hindu yang ada di Tegallinggah, Panji Anom, hingga desa-desa Bali age seperti Pedawa dan Sidatapa. “Ini merupakan cucu orang Pedawa,” kata Jaelani, menunjuk Ahmad Hanif, yang menjadi moderator FGD malam itu. Warga Pedawa di Tegallinggah baru dua generasi. Ahmad Hanif mengangguk mengiyakan apa yang disampaikan Jaelani.
Jaelani menambahkan bahwa di dalam masyarakat Muslim Tegallinggah juga ada keturunan dari Sidatapa. Yang dari Sidatapa lebih dulu dari Pedawa. Saat ini sudah generasi kelima. “Kalau di Pedawa ada Pasek Gelgel, di Sidatapa ada Pasek Toh Jiwa. Itulah yang datang ke Tegallinggah dan masuk Islam di sini,” papar Jaelani.
Selain dari suku Bugis dan Bali (Hindu), ada juga masyarakat Muslim Tegallinggah yang dari suku Jawa. Tepatnya dari daerah Kedu, Jawa Tengah. Bagaimana orang Kedu bisa sampai ke Tegallinggah?
Pemerhati Sejarah dari Desa Pegayaman, Ketut Muhammad Suharto, menuturkan, di antara prajurit yang direkrut Kerajaan Buleleng dari Kerajaan Mataram Islam Jawa, selain ditempatkan di Pegayaman, juga ada yang ditempatkan wilayah Kedu, Desa Panji, Kecamatan Sukasada, Buleleng. Kalau yang ditempatkan di Pegayaman untuk mengamankan Kerajaan Buleleng dari serangan arah selatan, yang Kedu untuk menjadi benteng Kerajaan Buleleng dari arah barat daya.
Suharto mengatakan hal itu mengutip keterangan dari Anak Agung Dana dari Puri Sukasada. Namun, pada tahun 1815, terjadi blabar agung (banjir besar) akibat Meletus Gunung Tambora. Komunitas Muslim di Kedu, Desa Panji termasuk yang disapu blabar agung tersebut.
Sebagian warga Muslim Kedu yang selamat terjangan dari blajar agung mengungsi ke Pancoran, Desa Panji Anom, Kecamatan Sukasada. Hingga kini keturunannya tinggal di Pancoran. Di antaranya menikah dengan Muslim Tegallinggah.
Ketua Tim Penelusuran Sejarah Islam Tegallinggah (PSIT), Samsul Hadi, merupakan salah satu keturunan dari pernikahan antara warga Muslim Tegallinggah dan warga Muslim Kedu yang tinggal di Pancoran. Ayahnya, Mohammad Salman keturunan dari warga Muslim Kedu yang tinggal di Pancoran, Desa Panji Anom. Sementara ibunya keturunan Bugis.
Samsul Hadi kini mewarisi benda pusaka dari kedua orangtuanya. Yakni, sebuah pedang kuno, senjata Prajurit Mataram Islam, warisan ayahnya dan sebilah badik, senjata orang Bugis yang diwarisi dari pihak ibunya.
Kedua benda pusaka itu memperkuat bukti bahwa dalam warga Muslim Tegallinggah, ada sejumlah suku di dalamnya. Di antaranya suku Bugis, Bali dan suku Jawa. (Yahya Umar)