- Dari Tukadmungga Hijrah ke Tegallinggah
“SIAPA yang memberi nama Tegallinggah? Siapa yang lebih dulu, komunitas Muslim atau Hindu (yang masuk ke Tegallinggah)?” Pertanyaan-pertanyaan tersebut dilontarkan sesepuh Muslim Tegallinggah, H. Ahmad Annas, dalam acara Focus Group Discussion (FGD) Temuan Awal Penelusuran Sejarah Islam Tegallinggah” yang digelar di Masjid Jami’ Al Miftah Tegallinggah, Jumat (6/1/2023) malam.
H. Annas yakin, yang pertama membabat hutan di Tegallinggah adalah orang-orang Islam. Meski demikian, menurutnya, hal itu harus dilakukan konfirmasi ke warga Tegallinggah yang beragama Hindu, terutama para penglingsir (sesepuh)-nya.
Tukadmungga merupakan jejak awal masuknya orang Bugis (Islam) sebelum ke Tegallinggah. Itu dibuktikan dengan ditemukannya makam Sayyid Umar di Tukadmungga. Seperti dipaparkan dalam tulisan sebelumnya, Sayyid Umar merupakan bangsawan dari Kerajaan Bugis Bone. Beliau saudara dari Syekh Maulana Yusuf Makassar (1543-1628) yang kesohor dengan panggilan Syekh Yusuf Al Makassari. Juga bersaudara dengan Arung Palakka, Raja Kerajaan Bone ke-15, 1672-1696 M.
Bagaimana Sayyid Umar sampai di Tukadmungga? Tim Penelusuran Sejarah Islam Tegallinggah (PSIT) yang diketuai Samsul Hadi dalam laporannya menuliskan, saat Arung Palakka berkuasa, terjadi pergolakan di kalangan keluarga kerajaan. Sebab, Raja Arung Palakka terpengaruh dan bekerjasama dengan penjajah VOC (Belanda).
Raja Arung Palakka tidak ingin ada pembangkangan dan ketidakpatuhan dari rakyat dan keluarganya. Siapa saja yang tidak taat dengan perintahnya dan tidak patuh terhadap aturan-aturan yang diterapkannya, maka mereka akan dibunuh atau dibuang (diasingkan) dari wilayah kerajaan. Karena situasi dan kondisi kerajaan, Syekh Yusuf memilih hijrah ke Banten (1575). Lantas pada 1600, Syekh Yusuf diasingkan oleh Kolonial Belanda ke Ceylon, Afrika Selatan.
Sayyid Umar juga enggan patuh kepada raja meskipun kakaknya sendiri. Beliau bertahan di sebuah padepokan menjalankan kapasitasnya sebagai seorang ulama, mengajar 40 murid-muridnya. Dengan muslihatnya, Belanda memfitnah dan mengadukan kepada Raja Arung Palakka, bahwa Sayyid Umar akan melakukan pemberontakan.
Tentu saja Raja Arung Palakka marah. Ia memanggil patih dan beberapa prajuritnya. Patih dan prajuritnya diperintah untuk membunuh Sayyid Umar dan murid-muridnya. Rencana pembunuhan pun dirancang. Karena Sayyid Umar dikenal sakti dan berilmu tinggi, penyerangan akan dilakukan malam hari, saat Sayyid Umar dan murid-muridnya istirahat.
Atas informasi dari salah satu keluarganya, dan diyakini karena ilmunya yang tinggi, rencana penyerangan tersebut diketahui oleh Sayyid Umar. Ia memerintahkan murid-muridnya untuk siap-siap meninggalkan kerajaan. Sebagian besar murid-murid Sayyid Umar melarikan diri ke Ambon dan Maluku. Sementara Sayyid Umar dan 10 orang muridnya berlayar hingga ke Bali dan akhirnya sampai di Tukadmungga.
Tokoh Muslim Tegallinggah, H. Maujir, dalam FGD Temuan Awal Penelusuran Sejarah Islam Tegallinggah, menjelaskan, orang-orang Islam Tegallinggah awalnya bermukim di Tukadmungga. Dengan bukti ditemukannya makam Sayyid Umar.
Mengutip cerita tokoh Muslim Tegallinggah, H. Abbas (almarhum), H. Maujir memaparkan, di Tukadmungga, komunitas Muslim dibawah pimpinan Sayyid Umar, hidup mandiri dari bertani dan berdagang.
Karena di wilayah Tukadmungga kurang mendukung untuk mengembangkan pertanian, beberapa waktu kemudian Sayyid Umar bersama keluarga dan murid-muridnya melakukan penelusuran ke wilayah selatan. Komunitas ini membabat hutan untuk mengembangkan pertanian.
“Mereka pergi ke tegal ane linggah. Dari kata tegal yang linggah akhirnya wilayah baru itu dikenal sebagai Tegallinggah,” tutur H. Maujir. Konon, lanjut H. Maujir, Sayyid Umar, keluarga dan murid-muridnya pertama kali sampai di suatu daerah yang kemudian dikenal dengan sebutan Kubu.
Itu dibuktikan dengan adanya pohon sawo. Menurutnya, pohon sawo menjadi simbol atau ciri khas setiap orang Islam, khususnya pendakwah. Pohon sawo tersebut sampai saat ini masih ada. Memperkuat pendapatnya, H. Maujir menyebutkan, bahwa ternyata pohon-pohon sawo juga ditemukan di tempat tinggal sosok-sosok yang ditokohkan dalam masyarakat Muslim Tegallinggah.
“Kalau kita lihat ternyata pohon sawo itu juga selalu ada di tempat tinggal orang-orang yang ditokohkan dalam bidang agama,” jelas H. Maujir. Ia sebutkan misalnya di rumah Datuk Abdul Gani atau Datuk Makruf, serta di rumah Ustadz Haji Abdul Rauf.
Tokoh Muslim Tegallinggah yang lain, Jaelani, juga menjelaskan, bahwa warga Muslim Tegallinggah awalnya bermukim di Tukadmungga. Mereka datang dari Bugis, namun kapan datangnya dari Bugis tidak ada yang tahu pasti.
Jaelani memprediksi, kedatangan orang-orang Bugis ke Tukadmungga dalam jumlah kecil. “Kemungkinan 5 sampai 10 orang,” katanya.
Berapa lama warga Muslim tersebut bermukim di Tukadmungga. Sejak tahun berapa mereka bermukim di desa tersebut juga tidak ada yang mengetahui secara pasti. Menurut Jaelani, kapan atau tahun berapa warga Muslim di Tukadmungga itu pindah ke Tegallinggah juga belum ada catatannya.
Bahwa warga Muslim Tegallinggah pernah tinggal di Tukadmungga terkuak pada zaman Datuk H. Nur. Yakni dengan ditemukannya makam Sayyid Umar. Makam tersebut berada di sebelah selatan setra (sema) Tukadmungga. Di lahan milik warga. Makam itu ditemukan ketika lahan itu mau digerus. Orang yang mau menggerus lahan tersebut jatuh sakit.
Bahkan setelah itu warga Tukadmungga yang sakit terus bertambah. Tiap hari ada saja yang meninggal dunia. Meskipun dilaksanakan upacara untuk mengatasi hal itu ternyata juga tidak berhasil. Akhirnya ditanyakan kepada orang pintar. Dari sana terkuak bahwa di lahan itu ada makam nak Muslim.
Sejak saat itu, baru diketahui koordinat lokasi makam Sayyid Umar. Tokoh-tokoh Muslim Tegallinggah pun berkunjung ke makam tersebut, dan menanam pohon kamboja atau jepun. “Jadi, jepun di Tukadmungga identik dengan jepun di kuburan Tegallinggah. Itulah nyambungnya Tukadmungga dan Tegallinggah,” kata Jaelani. (Yahya Umar – Bersambung)