Buaya Kuning, Legenda dalam Masyarakat Loloan

MANAKALA sebuah jembatan rangka besi buatan penjajah Belanda menjadi satu-satunya sarana penghubung dua wilayah di kota Negara. Membentang di atas sungai Ijogading. Hampir setiap hari, saat air sungai pasang, pengguna jalan memenuhi geladak jembatan itu.

Mereka berhenti sejenak di atas jembatan sambil mengamati  sesuatu  ke bawah. Mereka berkerumun, seakan tidak memperdulikan kendaraan lain yang akan melintasi jembatan itu.

Apa yang mereka perhatikan adalah sekawanan buaya sedang beriringan mengikuti dorongan arah air sungai ke hulu hingga kemudian tidak terlihat lagi. Pemandangan seperti itu menjadi hiburan tersendiri bagi masyarakat kota tanpa ada rasa khawatir dan takut akan keselamatan jiwanya.

Sedangkan di sudut ujung jembatan terpampang sebuah lukisan buaya kuning yang maknanya tidak dipahami oleh pengguna jalan. Apakah itu sebuah hiasan berupa peringatan untuk lebih berhati-hati ataukah hanya sebuah simbol jembatan.

Demikian pula pada malam hari, kawanan buaya itupun melakukan hal yang sama. Sekalipun suasana gelap, tapi masyarakat mudah mengetahui dari sepasang cahaya merah (seperti api rokok) yang bergerak.

Buaya kuning (ilustrasi) – sumber internet

Lalu kenapa hanya di sungai ini makhluk buaya bisa hidup nyaman, sedangkan banyak sungai lain mereka mudah  untuk berkembang biak. Tentu hal ini ada kaitannya dengan sebagian kepercayaan penduduk, karena itu selama mendiami pinggiran sungai itu, masyarakat tidak mengusik kelangsungan hidup sang predator tersebut.

Sekalipun telah banyak memakan korban jiwa, hal itu masih dianggap kecelakaan dan masyarakat tidak bisa berbuat sesuatu untuk menghindari korban selanjutnya. Diantara sekian banyak korban yang dimangsa buaya, korban terakhir masih dapat diingat.

Tersebutlah Abdullah. Dia bersama seorang temannya pergi ke hutan bakau mencari daun sirap untuk memperbaiki atap rumahnya. Di antara celah parit tumbuh rimbunan bakau yang akan dipangkas, belum cukup kebutuhan yang diperlukan. Ia semakin ke tengah hutan bakau.

Tidak disadari dia telah masuk ke areal sarang buaya. Tiba-tiba dari celah pohon bakau itu muncul seekor buaya langsung memagut punggungnya dari belakang. Buaya itu membanting tubuhnya ke dalam lumpur. Sontak membuat Abdullah berani dan melawan sepenuh tenaga. Ditariknya tubuh buaya besar yang melekat di punggung dari posisi membelakangi dan terlepas. Abdullah pun berlari di tepi parit. Sedangkan temannya tidak tinggal diam, dilemparkan semua tumpukan daun sirap itu ke arah buaya agar tidak mengejar mangsanya.

Abdullah selamat dengan luka dalam di punggungnya. Tidak terbayangkan dia bisa lolos dari maut terkaman buaya. Maka untuk membedakan antara Abdullah satu dengan lainnya masyarakat memberi julukan nama tambahan “Abdullah Buaye”.

Korban dimangsa buaya terjadi lagi di akhir tahun lima puluhan. Sepasang suami istri (tidak disebut namanya) bersampan mencari ikan dengan menjala. Mereka berpindah-pindah  lokasi memastikan adanya  kerumunan ikan. Istri memegang kendali dengan mendayung, sedangkan suami berdiri di atas sampan dengan posisi tegak siap menebar jala ke arah sasaran.

Namun tanpa diduga, dari samping sampan, seekor buaya melompat dan langsung menerkam. Tubuhnya  dibanting  berkali-kali di tengah sungai  sampai tidak berbentuk lagi. Istrinya yang menyaksikan peristiwa itu langsung menjauh dari petaka itu dan kehilangan suami.

Konon cerita lain, pilu seorang ibu muda telah kehilangan anaknya saat sedang bermain bersama-teman sebayanya di halaman rumah. Anaknya tidak kunjung pulang. Si anak dicarinya kesana kemari. Hampir setiap orang yang dijumpai ditanya tentang anaknya.

Namun tidak ada seorang pun mengetahui. Pencarian terus dilakukan, melibatkan keluarga dan masyarakat berhari-hari. Hasilnya tetap nihil. Hingga pada akhirnya orang melupakan kejadian itu. Sekalipun berganti tahun, bagi seorang ibu senandung kesedihan tidak bisa melupakan wajah anak yang kala itu masih membutuhkan buaian kasih sayang.

Seperti biasa ibu ini bersama beberapa teman pergi ke sungai. Mereka mencuci pakaian. Di tengah keasyikan mencuci pakaian sambil bersenda gurau, tiba-tiba ada yang berteriak histeris dan diikuti yang lain. Sambil mengemasi bawaan masing-masing, mereka bergegas menuju ke atas tebing sungai.

Mereka berteriak karena dilihat seekor buaya sedang mendekat ke arahnya. Berulang kali mereka berteriak memberi isyarat agar menjauh dari tempat itu. Tetapi hal itu sama sekali tidak dihiraukan oleh ibu ini. Dan bahkan sebaliknya, dia tersenyum mendekati arah datangnya buaya itu.

Apa yang dilakukan bukanlah hal yang biasa. Didekapnya buaya itu sekuat pelukan sambil bercakap dan menangis. Ttentu bagi orang yang menyaksikan adalah pemandangan aneh bahkan hampir tidak percaya dua  makhluk yang berbeda wujud itu saling berpelukan dengan mesra tidak tahu apa yang diucapkan.

Ditandai dengan surutnya air sungai, dua makhluk itupun kemudian harus berpisah dan berharap akan bertemu lagi. Sesampai di rumah, ibu itu menceritakan kejadian yang telah dialaminya di sungai. Ia berjumpa dengan anaknya yang telah lama menghilang.

Apa yang telah diceritakan hampir semua orang tidak mempercayai, tetapi keraguan itu pun ditepis  karena  berapa temannya menjadi saksi. Mereka melihat sendiri dan membenarkan apa yang telah dilakukan ibu ini bersama seekor buaya.

Peristiwa orang diterkam buaya bahkan harus kehilangan nyawa membentuk kesadaran  bersama  dari para tokoh masyarakat Loloan untuk mencari jalan keluar tentang masalah  populasi  buaya. Diperoleh kesepakatan, binatang liar buaya harus dimusnahkan. Cara yang ditempuh dengan menggunakan jasa pawang buaya yang berasal dari Bugis Makassar.

Penangkapan mulai dilakukan. Masyarakat ikut menyaksikan bagaimana kawanan buaya liar panjangnya mencapai lima meter itu dilumpuhkan hanya oleh seorang pawang. Satu per satu buaya liar itupun mendatangi sendiri sang pawang tanpa perlawanan dengan mulut terkatup tidak terbuka sama sekali. Pengecualian dari sekian banyak buaya telah ditangkap ada satu ekor buaya kuning yang sengaja lepas karena pawang diketahui tidak akan memangsa orang.

Bersama beberapa orang tenaga, penangkapan itu terus dilakukan di beberapa titik dan sampai ujung muara sungai. Sang pawang kembali melakukan ritual di daratan delta sungai sambil menarik sebuah garis lurus yang dimaknai sebagai cara menutup pintu masuk buaya laut melalui muara. (y)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *