Subak Pegayaman dalam Sejarah Sistem Irigasi di Bali (1)

HAMPARAN sawah nan hijau. Pepohonan yang rimbun. Bukit menjulang. Air bergemericik di lembah-lembah yang seakan dihempaskan dengan gemulai oleh sejumlah air terjun. Kicauan burung yang mengimbangi musik sayupnya angin. Semua menambah nuansa nyaman saat melepas pandangan dan berdiri di tengah sejuknya rasa yang menerpa badan di areal Desa Pegayaman.

Desa Pegayaman yang terdiri dari lima dusun, yaitu Dusun Barat Jalan, Dusun Timur Jalan, Dusun Kubu Lebah, Dusun Kubu, dan Dusun Amertasari. Pegayaman merupakan sebuah desa yang terhampar dengan dataran yang berteras miring, serta menanjak seakan menggambarkan wilayah Pegayaman ini jutaan tahun yang lalu adalah sebuah gunung besar dan menjulang. Sebab, sangat terasa keberadaan Pegayaman kondisinya menanjak dan diakhiri dengan kaldera yang lengkapi dengan Danau Buyan, Danau Tamblingan dan Danau Beratan.

Saya prediksi, pada ribuan juta tahun yang lalu, di zaman Arkeozoikum, wilayah Pegayaman dulu adalah wilayah yang berada pada posisi gunung tinggi menjulang. Lantas gunung itu meledak. Bekas kawahnya adalah tiga danau yang ada sekarang. Karena sudah berumur ribuan juta tahun, maka kawah tersebut berubah manjadi danau dan mahma yang ada di dalam kawah tersebut tersumbat dengan adanya debit air yang lebih besar.

Analisa prediktif ini berangkat dari kenyataan fisik yang ada sekarang, yakni adanya tiga danau yang terletak di wilayah Buleleng dan Tabanan. Ketiga danau itu adalah Danau Buyan, Danau Tamblingan dan Danau Beratan. Adanya kaldera yang mengitari kawah yang sudah berubah menjadi danau, serta adanya air panas yang tersebar di beberapa lokasi.

Gunung ini saya bayangkan lebih tinggi dari Gunung Agung. Ini bila dilihat dari kenyataan bahwa sekarang ketinggian batas akhir bekas ledakan, yakni setinggi 1.525 meter dari permukaan air laut. Tentu prediksi ini membutuhkan bukti ilmiah. Karena itu, perlu diadakan sebuah kajian secara ilmiah juga.

Tiga danau yang ada di puncak gunung yang ada di wilayah Buleleng dan Tabanan ini merupakan sumber pengairan yang ada di Bali utara dan selatan, sebagaimana Gunung Batur menjadi sumber pengairan yang ada di daerah Bangli dan sekitarnya.

Semua pengairan yang ada di wilayah Bali, bisa dipastikan berasal dari empat danau yang ada di puncak gunung di wilayah Pegayaman, Gobleg, Beratan, dan Batur. Air dari sanalah yang menjadi sumber pengairan irigasi yang ada di wilayah Bali pada umumnya.

Dinginnya air yang keluar dari mata air di bawah sekitar danau yang empat ini, semakin meyakinkan bahwa air tersebut berasal dari danau-danau itu. Seperti mata air yang ada di pemandian Air Sanih. Airnya sangat dingin. Saking dinginnya sering kali orang tidak mampu bertahan berendam dalam hitungan jam dalam air.

Aliran mata air di Air Sanih ini diperkirakan datangnya dari Danau Batur, jika dilihat dari radius jarak yang ada dan pendampingan alur lembah yang mendukung sekitarnya.

Sementara mata air yàng ada di Pegayaman yang bernama Yeh Mumbul, di mana mata air ini mengalir dari bawah batu besar, yang debit airnya dalam segala musim tidak pernah berubah. Airnya sangat dingin, hampir sama dengan yang di Yeh Sanih (Air Sanih). Air di Yeh Mumbul Pegayaman ini diperkirakan berasal dari Danau Buyan. Itu bila dilihat dari saluran lembah yang ada di jalur sekitar bebukitan, dengan debit air yang lumayan besar dan tetap stabil tidak berubah warna dan rasa dalam segala cuaca.

Kalau kita lihat di seluruh wilayah Bali, banyak mata air yang serupa, yakni debit yang besar, seperti kolam Tirta Gangga Karangasem dan lain sebagainya. Sungguh harus disyukuri bahwa Allah SWT memberikan begitu banyak nikmat pada pulau Bali ini, khususnya nikmat air yang menjadikan pulau Bali ini subur, berlimpah karunia. Sebab, dengan air yang cukup akan bisa membuat suatu keadaan berjalan dengan baik dan sempurna.

Dengan adanya air, cara berpikir kita akan adem dan jernih. Dan kejernihan berpikir akan menghasilkan kesimpulan yang berkualitas. Secara otomatis, hal itu akan membawa warga yang kena dampak kualitas berpikir baik ini akan menjadi warga yang damai.

Hal ini terbukti dalam kenyataan bahwa masyarkat Bali yang sangat beragam dalam agama, politik dan seni budaya yang berkembang, ternyata dapat hidup secara damai.

Air yang berlimpah di Bali juga memunculkan sebuah sistem irigasi yang memiliki sejarah yang sedemikian panjang. Sistem irigasi pengairan di Bali konon sudah dimulai sejak abad VIII.

Dimulai dari kedatangan Rsi Markandea di Pulau Bali pada tahun 730 M. Dalam dua kali kedatangannya ke Bali, Rsi Markandea membawa 800 orang. Namun, banyak yang tertimpa musibah, hingga tersisa 200 orang. Lantas Rsi Markandea kembali lagi ke Gunung Raung untuk memohon petunjuk dan kembali lagi dengan 400 orang.

Setibanya Rsi Markandea di Bali, dimulailah pembabatan hutan sebagai lokasi hunian dan ladang persawahan, yang dikenal dengan istilah kasuwakan. Selanjutnya berproses menjadi suwak dan akhirnya menjadi subak.

Pada abad XI, yakni di tahun 1072, Raja Jaya Pangus, dalam Prasasti Raja Purana Klungkung, menyebut kata kasuwakan yang diperkirakan sebagai awal untuk menyebut subak sebagai sistem irigasi di Bali.

Keberadaan Rsi Markandea bisa dikatakan sebagai cikal bakal sistem pengairan di Bali. Namun, belum ada kepastian dari apa asal kata subak tersebut. Dalam lontar disebutkan suwak menjadi asal dari kata subak. Jika diartikan suwak bermakna ‘pembagian yang adil’. Dalam sistem subak juga dikenal sistem pembagian air secara adil.

Namun, jika dilihat dari sudut kelembagaan (organisasi) subak, di dalam subak ini pasti melibatkan krama yang mempunyai proses dan tujuan. Dalam bahasa Kawi disebutkan beberapa istilah: Pertama, subhakti, yang mempunyai makna ikatan kesetiaan. Bila dijabarkan dalam subak, para anggotanya akan diarahkan pada satu ikatan penjalinan, ikatan saling memperhatikan dan mencintai.

Kedua, subhaya. Artinya persetujuan. Ketika dalam keorganisasian subak membuat sebuah rencana program, yang dikedepankan adalah kesepakatan atau persetujuan krama subak. Jadi dalam subak, pembuatan rencana program harus ada persetujuan anggota subak.

Ketiga, subhiksa. Artinya kemakmuran. Kemakmuran ini menjadi orientasi, ketika organisasi subak abian dijalankan, yang diharapkan adalah kemakmuran kelompok.

Keempat, subhagia. Artinya bahagia. Sebagai orientasi akhir dari tujuan kelompok subak adalah kebahagiaan anggota subak.

Alasan dasar pembentukan kelompok subak itu mengacu kepada empat hal tersebut, yakni subhakti, subhaya, subhiksa, dan subhagia. Keberadaan kelompok subak diharapkan di dalamnya terjalin satu ikatan kesetiaan kelompok. Juga ada satu proses domokrasi, yakni terbangunnya kesepakatan atau persetujuan. Dan kemakmuran diharapkan menjadi puncak kebahagiaan dari anggota kelompok (sekaa) subak.

Sistem subak yang sudah berjalan sejak abad VIII, memberikan hal yang sangat luar biasa bagi kehidupan irigasi Bali. Subak memberikan dampak yang signifikan bagi ekonomi Bali. Sebagai sistem irigasi, subak di Bali diakui dan dikagumi berbagai pihak.

Pada tahun 1891, Pemerintah Belanda memberi legalitas hukum tentang subak Bali. Menurut Belanda, subak Bali adalah kumpulan sawah yang memiliki saluran yang sama atau dari cabang yang sama dari satu saluran, mendapat air dan pengairan.

Clifford Geertz dalam A Balinese Village (1967), menyebutkan, subak adalah areal persawahan yang mendapat air irigasi dalam satu sumber. Sementara menurut I Gusti Ketut Sutha dalam Meninjau Persubakan di Bali (1978), menyebutkan, subak adalah sistem irigasi tradisional di Bali. Sedangkan John S. Amber (1990) mengakui subak sebagai prinsip irigasi yang unggul di Bali.

Organisasi Pendidikan, Keilmuan dan Kebudayaan Perserikan Bangsa-Bangsa, Unesco, pada 29 Juni 2012 memutuskan dan mengakui subak Bali sebagai warisan dunia.

Dengan analisa dan kajian serta pengakuan terhadap subak tersebut, maka sangat pantas subak Bali untuk diakui dunia. Sebab, subak Bali mampu dan berhasil membawa Bali dalam pengelolaan irigasi dan mensejahterakan warga Bali dari sisi ekonomi yang berasal dari proses irigasi subak.

Konsep subhakti, subhaya, subhiksa, dan subhagia menjadi dasar dalam proses dan tercapai orientasi subak dengan filosofi dasar Trihita Karana. (Konsep hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan alamnya, dan hubungan manusia dengan manusia).

Sistem subak yang berjalan di Bali tentunya sangat diwarnai dengan budaya Bali yang mayoritas yang berdasar pada ajaran Hindu. Dan ini berjalan dengan sangat baik, dengan aturan atau awig-awig yang dikondisikan. Ada sejumlah istilah dalam persubakan Bali, baik dalam kepengurusan, dalam pelaksanaan, dan para petugasnya. Juga yang tidak kalah pentingnya yaitu istilah-istilah lokasi yang menjadi obyek garapan subak.

Istilah-istilah dalam kepengurusan subak, pekaseh (ketua subak), petajuh (wakil ketua), penyarikan (juru tulis), petengen (juru raksa), kasinoman (kurir), dan lain-lain.

Istilah-istilah dalam pelaksanaan di lapangan, yakni magpagin toya (menjemput air), ngayah artinya melaksanakan arahan di lapangan. Ngampel artinya membayar karena tidak ikut ngayah.

Sementara soal lokasi aliran air, ada sejumlah istilah. Misalnya dam, sistem penampungan dan pembagian air ke telabah. Empelan, tempat pembagian air di tonggak bagia air menuju sawah dan atau telabah dan jelinjingan. Sawen adalah alat pertanda untuk larangan. Petakut, alat untuk balut nakuti burung ketika padi sudah menjelang menguning. Tukad adalah aliran sungai besar.

Istilah telabah, yakni aliran sungai lebih kecil dari tukad. Jelinjingan adalah aliran sungai lebih kecil dari telabah. Lohlowan, aliran air lebih kecil dari jelinjingan. Dan tektek, ukuran aliran air yang diukur pakai selebar tangan.

Lantas istilah-istilah di sawah, antara lain ume, sawah. Bakal adalah garapan sawah bongkaran awal. Melasah, garapan setelah bakal, yakni proses meratakan tanah menjelang tanam padi. Ngurit, menanam bibit padi awal dari semai biji menjadi anak padi siap tanam. Bulih, anak padi yang siap untuk ditanam.

Mule, menanam padi. Mbud, padi yang mulai tumbuh bagus. Serab, padi yang mulai menjelang bertunas buah. Rempuah, proses mengusir burung. Manyin, proses menuai padi yang telah tua.  Nigtigang, proses menuai padi dengan cara merontokkan padi. Maunuh, memungut padi sisa dari warga.

Ngerabuk, proses memupuk padi di usia muda. Ada juga istilah rajungan, isitan, lohloan, pundukan, mundukin, pagagan, tebihan, kuma see, bulih, ngiusan, mbud, damyh api, damyh candang tkubal, gembidan. Inilah istilah-istilah umum subak di Bali. (bs)

Bersambung …..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *