Wak Hasan Sagir, Legenda Hidup Burdah Pegayaman Bali (2-Habis)

Multitalenta, Tak Hanya Bisa Burdah, Tapi Juga Hadrah hingga Qosidah

WAK Hasan Sagir hidup sangat sederhana. Di tengah hutan. Ya di tengah hutan bukit Pegayaman, yang terpisah dari warga Pegayaman lainnya. Jalan menuju ke rumahnya lumayan memacu adrenalin. Dengan beton rabat tak penuh, hanya di sisi kiri dan kanannya saja. Di beberapa titik, ada tanjakan dan tikungan sangat tajam. Di sisi kiri-kanan jalan menuju rumahnya tak jarang langsung berhadapan dengan jurang.

Berada di ketinggian 1.100 meter dari permukaan air laut, rumah Wak Hasan lebih sering diselimuti kabut. Rintik hujan selalu menyapa, di siang atau malam hari. Tubuh-tubuh selalu dipeluk rasa sejuk.

Rumah Wak Hasan Sagir juga cukup sederhana. Dindingnya dari batako telanjang di bagian bawahnya. Disambung papan-papan kayu, yang beberapa bagian sudah rapuh. Atap rumahnya seng. Dengan lantai hanya plesteran semen. Sungguh amat sederhana bagi sosok yang boleh dibilang sebagai maestro burdah. Sosok yang menjadi legenda hidup seni burdah yang tak ternilai harganya bagi warga Pegayaman, atau bahkan bagi bangsa ini.

“Wak Hasan ini sosok yang luar biasa,” kata Ketua Umum Grup Burdah “Burak” Desa Pegayaman, Drs. Muhammad Suharto. Dalam usia 95 tahun, Wak Hasan masih hafal melantunkan 16 lagu burdah. Tanpa melihat teks.

Menurut Suharto, 16 lagu burdah Pegayaman yang dihafal Wak Hasan di antaranya lagu Tue, lagu Kampar, lagu Nganten, lagu Sulton Pahang, lagu Sulton Rasul, lagu Sulton Abdi, lagu Belaluan, lagu Melayu, lagu Parsi, lagu Mekondek, lagu Ngelungsuhan, lagu Tarik Dayung, lagu Hul Maula, serta lagu Masru.

Lagu Tue (tua-red) merupakan lagu burdah tertua di Pegayaman. Biasanya dilantunkan di awal penampilan burdah. Yang melantunkan adalah ketua burdah langsung. Kalau di Grup Burdah “Burak”, Wan Hasan-lah yang melantunkan, sebagai ketua burdah, ketika grup burdahnya tampil.

Di mata Suharto, Wak Hasan Sagir merupakan sosok yang hebat. Ketika tampil, ia totalitas. “Semalam suntuk beliau bisa tidak tidur kalau sudah main burdah,” terangnya.

Biasanya di Pegayaman digelar event tahunan burdah, di mana semua grup burdah tampil di desa. Waktunya semalaman, mulai pukul 21.00 selepas Isya, hingga pukul 04.00 waktu Subuh. Masing-masing grup burdah menampilkan hingga 9 lagu dalam semalaman. Masing-masing lagu dilantunkan tiga kali.

“Wak Hasan tidak terlihat ngantuk sama sekali. Padahal saya sendiri kadang-kadang dilanda kantuk berat,” tambahnya.

Bagi Wak Hasan, burdah adalah hidupnya. Ia merupakan seniman burdah paling tua di Pegayaman. Sebagai ketua burdah, Wak Hasan mewariskan seni tersebut kepada anak-anak muda Pegayaman. Ia melatih anak-anak muda Pegayaman main burdah. Karena ia tidak ingin seni burdah hilang dari Pegayaman. Ia ingin seni burdah lestari, seperti kesenian lainnya di Desa Pegayaman.

Meskipun sebagai legenda burdah, Wak Hasan ternyata juga menguasai seni-seni lainnya yang dimiliki Desa Pegayaman. Seperti qosidah (tanpa alat musik), dzikir mulud, hadrah, al barzanjian, hingga silat dan pencak. Ia juga masih hafal tembang-tembang qosidah, zikir mulud, hadrah hingga al barzanjian.

Ya, Wak Hasan adalah sosok multitalenta. Tidak hanya menggeluti dunia seni, Wak Hasan Sagir ternyata bisa menjahit pakaian, menjadi tukang cukur, membuat alat rebana burdah hingga mampu membangun rumah. Beberapa rumah tokoh Pegayaman merupakan hasil karyanya.

“Beliau memang multitalenta. Sosok yang tergolong langka. Hingga usianya yang senja, ia tetap sehat bugar. Bahkan masih bisa ke kebun,” jelas Suharto, yang juga pemerhati sejarah ini. Tak salah memang jika menyebut Wak Hasan Sagir sebagai legenda. Terutama dalam seni burdah Pegayaman. Wak Hasan adalah figur yang patut diteladani oleh masyarakat, tak hanya warga Pegayaman. Terutama oleh mereka, kalangan milenial. Tentang totalitasnya dalam berkesenian, dalam seni burdah. (Yahya Umar)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *