MEKEL PUTU, TOKOH PEGAYAMAN MEDIATOR UTUSAN KERAJAAN BALI MATARAM

KETIKA Bumi Sasak dikuasai oleh Kerajaan Karangasem, dalam catatan sejarah dikatakan bahwa masyarakat Sasak selalu mengadakan perlawanan terhadap Kerajaan Bali Mataram pada saat itu. Perlawanan-perlawanan tersebut berlangsung dalam kisaran antara tahun 1855 dan 1877.
Warga Sasak yang sudah beragama Islam merasakan tekanan-tekanan dan ketidaknyamanan dari Kerajaan Bali Mataram yang pada saat itu menguasai Bumi Sasak. Kerajaan memberlakukan pajak yang sangat tinggi saat itu. Warga Sasak muslim merasa risih diperintah oleh Kerajaan Bali Mataram yang notabene pada saat itu beragama Hindu. Karena itu, banyak muncul perlawanan-perlawanan kecil yang dilakukan oleh warga Sasak muslim.
Dengan kondisi seperti itu muncul saran untuk mendatangkan orang Bali yang beragama Islam dan bisa berbahasa Bali sebagai solusi. Maka pada saat itu dicarilah orang Bali yang beragama Islam dan bisa berbahasa Bali di Karangasem. Akan tetapi orang Karangasem menolak untuk datang ke Bumi Sasak. Lantas Kerajaan Karangasem disarankan untuk mencari orang Islam yang bisa berbahasa Bali ke Kerajaan Buleleng.

Kerajaan Buleleng menunjuk Desa Pegayaman sebagai tempat untuk mencari orang yang bisa dikirim ke Bumi Sasak sebagai mediator pada saat itu yang bisa menghubungkan kenyamanan antara warga Sasak muslim dengan Kerajaan Bali Mataram. Pada saat itu penguasa Kerajaan Bali Mataram adalah Gusti Ngurah Agung (1891 Masehi).
Singkat kisah, sejumlah tokoh Pegayaman siap diberangkatkan sebagai duta mediator ke Bumi Sasak. Yang berangkat pada saat itu adalah Mekel Putu Muhammad Saleh dan Kumpi Wayah Sahmah. Kemudian disusul lagi oleh Wayah Sazali atau Guru Jenggot. Pengiriman mediator warga muslim Pegayaman ke Mataram dianggap akan bisa memberikan kestabilan politik antara pihak warga muslim dan warga Hindu yang pada saat itu berkuasa.
Para duta mediator dari Pegayaman ini diberikan tempat di satu lokasi yang bernama Kebon Raja. Saat ini lokasi tersebut beralamat di Jalan Pariwisata Mataram. Sebelum kedatangan tokoh-tokoh Pegayaman, lokasi Kebon Raja ini dihuni oleh orang-orang Jawa yang bertugas sebagai pekatik kuda. Dengan kedatangan para duta meditor dari Pegayaman, orang-orang Jawa tersebut dipindah ke sebelah barat Kebon Raja, dan diberi nama Kampung Jawa.
Menurut Haji Husni Thamrin sebagai pewaris Mekel Putu, di lokasi tersebut yakni di Jalan Pariwisata Mataram sampai sekarang ditempati oleh keturunan Mekel Muhammad Saleh atau Mekel Putu. Dalam perjalanan waktu, keturunan dari Mekel Putu ini berkembang sampai sekarang dalam komunitas yang banyak. Ada yang bertempat tinggal di Banyumulek tempat wisata gerabah, ada di Desa Bagik Polak Kecamatan Labuapi, juga ada di Praya Lombok Tengah, Desa Sesaot, dan tentunya juga di Kota Mataram.
Para panglingsir Pegayaman ini juga dikirim ke Bumi Sasak diberi tugas sebagai mediator di era penjajahan Belanda. Mereka juga yang menghubungkan antara para pejabat atau punggawa pada saat itu yang akan membayar upeti kepada Raja Belanda.
Haji Husni Thamrin, yang merupakan keturunan dari Mekel Putu, menceritakan bahwa dari cerita yang beliau dengar, dulu para punggawa Sasak ketika mau membayar upeti kepada pihak Belanda, mereka berkumpul dulu di rumah Mekel Putu di Kebon Raja. Esok harinya baru bersama-sama mengantar upeti kepada raja.

Bagaimana Mekel Putu menjalankan misinya sebagai mediator? Menurut Haji Husni Thamrin, metode pendekatan yang dilakukan Mekel Putu Muhammad Saleh kepada masyarakat Sasak yang beragama Islam dengan pendekatan agama. Sedangkan dengan penduduk Sasak yang beragama Hindu yang ada di Mataram, pada umumnya dibawah Kerajaan Hindu Karangasem, pendekatannya dengan adat budaya Bali. Jadi Ketika berbicara adat, Mekel Putu Muhammad Saleh memahami juga adat istiadat yang berkembang di Bali. Sedangkan ketika berhadapan dengan umat Islam Sasak yang berasal dari pedalaman yang notabene adalah penduduk asli, dilakukan dengan pendekatan agama Islam. Penguasaan agama Mekel Putu juga maksimal dalam teori dan pelaksanaannya.
Dengan kedua metode tersebut, yakni pendekatan agama dan adat, mediasi yang diemban Mekel Putu terlaksana dengan baik, sehingga perdamaian tercapai. Itulah yang dilakukan oleh Mekel Putu Muhammad Saleh dalam menghadapi masyarakat, yakni dengan metode pendekatan agama dan pendekatan adat. Hingga kini masyarakat Sasak yang muslim berdampingan dengan warga Bali yang Hindu secara damai hingga saat ini.
Dalam perjalanannya, tiga tokoh Pegayaman yang datang ke Mataram, yang bertahan adalah Mekel Putu Muhammad Saleh. Sedangkan Kumpi Sahmah tidak sanggup untuk menetap di Mataram. Beliau mencari tempat di daerah hutan di sekitar Narmada menuju utara dan membuka lahan hutan belantara di sana yang kemudian diberi nama Sesaot.
Keturunan dari Kumpi Sahmah ini sampai sekarang menempati Desa Sesaot yang pada saat ini merupakan desa wisata. Perkiraan penulis, nama sesaot ini diambil dari kata nyaut diri, yang artinya dalam bahasa Indonesia yaitu membuang diri ke wilayah hutan belantara. Kumpi Sahmah tidak bisa hidup di kota bersama Mekel Putu, dan ia membuang diri ke hutan belantara, yang daerah itu kemudian diberi nama Sesaot.
Begitu juga Wayah Sazali atau Guru Jenggot. Beliau juga tidak bisa hidup di Mataram Sasak. Wayah Sazali kembali ke Bali dan lantas menetap di Banyuwangi. Setelah lama di Banyuwangi, beliau pulang ke Pegayaman kemudian menetap di satu tempat yang bernama Yeh Kaping. Lokasi Yeh Kaping ini lokasinya di wilayah Pegayaman bagian atas perbukitan dan terpencil. Di sinilah beliau menetap dan memelihara sapi yang sangat banyak dengan cara dilepas atau diumbar. Cerita ini menjadi cerita umum pada zaman itu dan kami dapat dari para penglingsir yang ada di Pegayaman.
Dari keturunan Mekel Putu Muhammad Saleh, ada juga yang pernah menjadi camat, yaitu Putu Juliaden. Dan juga sebagai pegawai di Dinas Pekerjaan Umum Nusa Tenggara Barat.
Inilah kisah peran serta tokoh-tokoh Pegayaman, yang tidak pernah lepas dalam keikutsertaannya dalam memikirkan kemaslahatan umat dalam segala kondisi. Dari zaman Kerajaan Buleleng Panji Sakti pada zaman pemerintahan Gusti Ketut Jelantik tahun 1891, dan berperan kepada kerajaan lain, yaitu di Kerajaan Bali Mataram Bumi Sasak NTB. (bs)