DENPASAR – Selama masa pandemi Covid-19 berlangsung, banyak perempuan yang mengalami kekerasan psikologis dan ekonomi. “Selama pandemi COVID-19 secara umum kekerasan psikologis dan ekonomi lebih umum dialami oleh responden daripada jenis kekerasan lainnya,” kata Ketua LSM Perempuan Bali Sruti, Dr. Luh Riniti Rahayu, saat menyampaikan materinya “Refleksi Dimensi Gender dari Dampak Sosial Ekonomi Akibat Pandemi Covid-19 di Indonesia, Khususnya di Bali” pada acara Virtual SEARO Workshop, Selasa (29/9/2020).

Mengutip hasil Kajian Komnas Perempuan, Dr. Riniti menjelaskan, berdasarkan jenisnya, perempuan lebih banyak mengalami semua jenis kekerasan dibandingkan laki-laki. Selama pandemi Covid-19 secara umum kekerasan psikologis dan ekonomi lebih umum dialami oleh responden daripada jenis kekerasan lainnya.
“Sebanyak 100% responden yang menjawab lebih sering mengalami kekerasan fisik dan seksual, dan lebih dari 75% responden yang menjawab lebih sering mengalami kekerasan psikologis dan ekonomi selama Covid-19, juga menjawab pengeluaran bertambah selama pandemi,” jelasnya.
Riniti juga memaparkan, adanya perubahan beban kerja di rumah tangga dan pengasuhan yang terjadi selama masa pandemi Covid-19. “66% melaporkan bahwa beban pekerjaan rumah tangga semakin banyak. Sementara hanya sekitar 49% laki-laki menjawab pekerjaan rumah tangga mereka bertambah. Hasil ini menyiratkan bahwa beban pekerjaan rumah tangga selama Covid-19 secara umum masih ditanggung oleh perempuan, dibandingkan laki-laki,” katanya.
Menurutnya, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan sejumlah kebijakan dalam menyikapi situasi darurat terkait pandemi Covid-19. Di antaranya kebijakan pembatasan sosial dan jaga jarak diri (social and physical distancing), Kerja dari Rumah (KdR) dan Belajar dari Rumah (BdR). Riniti memandang, kebijakan tersebut menimbulkan berbagai dampak yang khas bagi perempuan dalam konteks posisi perempuan dalam keluarga dan sebagai perempuan pekerja.
“Jumlah perempuan sebagai pekerja kesehatan lebih banyak, bertanggung jawab sebagai perawatan anak, dan mengalami beban ganda di kerja domestik saat pandemi,” jelasnya.
Sementara itu, tambah Riniti, secara konstruksi sosial budaya di Indonesia, posisi pengambilan keputusan dalam keluarga dan komunitas kebanyakan masih berada pada laki-laki dalam beragam hal, termasuk keputusan di rumah tangga. Pemahaman agama konservatif yang masih meyakini pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan sebagai pekerjaan perempuan juga memperburuk perempuan di situasi pandemi ini.
“Kebijakan KdR dikhawatirkan akan berakibat pada hilangnya penghasilan keluarga atau semakin berkurangnya penghasilan sehingga dapat berdampak pada kecemasan dan juga pemicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kebijakan BdR (belajar dari rumah) dapat berarti pelimpahan tugas-tugas guru kepada orang tua, terutama ibu,” ujarnya.
Kata mantan anggota KPU Provinsi Bali ini, persoalan pun bertambah, dengan adanya pengeluaran tambahan untuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi di tengah kondisi keuangan keluarga yang terbatas. “Ketika kerja domestik tertumpuk pada perempuan dan asupan gizi terbatas, kondisi ini dapat menyebabkan kelelahan fisik dan psikis perempuan, sehingga mereka semakin rentan terinfeksi Covid-19,” tandasnya.
Ia juga mengungkapkan, perempuan miskin adalah salah satu kelompok yang paling menderita. Perempuan Indonesia menanggung beban pekerjaantanpadibayar, seperti mengasuh anak, karena adanya ketidaksetaraan gender di masyarakat Indonesia dan diskriminasi gender dalam pasar tenaga kerja. Beban ini menjadi berkali lipat ketika pandemi. Keterbatasan untuk mengakses layanan fasilitas kesehatan dan pendidikan memperparah beban tersebut.
“Ketidaksetaraan gender dalam masyarakat membuat perempuan memiliki risiko lebih tinggi terinfeksi Covid-19 karena adanya bias gender dalamkepemilikanasetkendaraan,” terangnya. Menurut Riniti, dalam masyarakat Indonesia yang masih patriarkis, perempuan lebih sering menggunakan transportasi publik daripada laki-laki karena perempuan tidak memiliki kendaraan milik mereka sendiri. Kondisi tersebut membuat perempuan memiliki risiko lebih besar terinfeksi Covid-19 karena mereka harus naik transportasi publik ketika keadaan sudah dianggap normal.
Sementara ada beberapa dampak pandemi terhadap Bali yang menjadi catatan Dr. Riniti. Dosen Univesitas Ngurah Rai Denpasar ini memapaskan, Covid-19 telah menimbulkan dampak yang signifikan kepada seluruh aspek perekonomian, termasuk pariwisata. Dampak tersebut sangat terasa dan berpengaruh mengingat Bali adalah destinasi pariwisata utama.
“Kekerasan terhadap perempuan dan anak serta Laporan Incest terungkap meningkat (laporan LBH APIK, P2TP2 Bali). Meski layanan terhadap kekerasan telah dimodifikasi secara online, selama 24 jam, layanan tersebut tidak membantu mengurangi, bahkan kekerasan yang tidak terlaporkan terjadi dalam lingkup desa adat,” jelasnya.
Ia mengapresiasi upaya pemerintah di Bali yang berupaya keluar dari dampak Covid-19. Misalnya dengan menerbitkan berbagai instruksi, surat edaran, imbauan, hingga pembentukan Satgas (Satuan tugas) Gotong Royong Penanganan Covid-19 berbasis desa adat. Juga adanya surat edaran bersama dengan PHDI (Parisada Hindu Dharma), Majelis Desa Adat (MDA), dan Pemerintah Provinsi Bali, tentu akan memberikan dampak pada giat pelaksanaan yadnya umat Hindu di Bali, termasuk pada perayaan hari-hari suci umat Hindu.
Upaya lainnya misalnya MDA dan pemerintah daerah mendorong pembuatan awig-awig 1.493 desa adat yang menyangkut protokol kesehatan. Program gerakan bagi-bagi masker oleh Tim Penggerak PKK Provinsi Bali. Gerakan 3 M dalam keluarga, yaitu memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak. Serta organisasi sayap MDA membentuk bagian khusus perlindungan perempuan dan anak di desa adat.
“Pandemi Covid-19 bukan kutukan, bukan pula berkah. Ia seperti angin puting beliung yang datang tiba-tiba. Ia seperti gempa yang meretak di kerak bumi. Semuanya bagian dari ‘keselarasan kosmik’ yang diselaraskan dengan kekuatan alam,” pungkas Riniti. (bs)