DENPASAR – DPRD Bali menetapkan Raperda tentang Rencana Umum Energi Daerah Provinsi Bali Tahun 2020-2050 menjadi Perda. Penetapan tersebut bersamaan dengan penetapan Raperda tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Semesta Berencana Provinsi Bali Tahun Anggaran 2019 pada rapat paripurna DPRD Bali, Selasa (21/7).

Rapat paripurna dipimpin Ketua DPRD Bali, Nyoman Adi Wiryatama, dan dihadiri Wakil Gubernur Bali, Tjok Oka Artha Ardhana Sukawati.
Dalam laporannya, Koordinator Pembahasan Raperda tentang Rencana Umum Energi Daerah Provinsi Bali Tahun 2020-2050, IGA Diah Werdhi Srikandi WS, mengatakan, potensi energi baru terbarukan (EBT) di Bali cukup besar. Misalnya tenaga air 208 megawatt (MW), minihidro dan mikrohidro 15 MW, biomass 146,9 MW, biogas 44,7 MW, surya 1.254 MW, angin 1.019 MW, energi air laut 1.280 MW, dan energi panas bumi 262 MW.
Dikatakan, potensi EBT di Bali yang terbesar adalah energi surya, disusul energi laut, angin (bayu), dan seterusnya. “Tetapi bauran penggunaan energi dari dari air juga tidak kalah tingginya. Bendungan yang sedang dilaksanakan di Desa Sidan, menyimpan energi potensial semacam itu, selain Bendungan Telaga Tunjung di Tabanan dan Bendungan Titab di Buleleng,” ujarnya.
Selain itu, kata Diah, yang tidak kalah besarnya adalah potensi energi biomass yang bersumber dari sampah. “Pilihan EBT biomass ini juga kami sangat rekomendasikan, terutama karena akan menyelesaikan dua persoalan sekaligus, timbunan sampah menjadi hilang dan berubah menjadi energi listrik yang kita butuhkan bersama-sama,” katanya.
Ketua Komisi III DPRD Bali ini juga mengungkapkan soal rendahnya pemanfaatan dan pengembangan di Bali. Dikatakan, rendahnya pemanfaatan dan pengembangan EBT pada pembangkit listrik disinyalir terjadi karena berbagai permasalahan, diantaranya, belum adanya insentif untuk pemanfaatan EBT yang memadai; minimnya ketersediaan instrumen pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan investasi; proses perizinan yang relatif rumit dan memakan waktu yang cukup lama di tingkat pusat atau daerah; dan permasalahan ketersediaan lahan dan tata ruang.
“Berkaitan dengan penggunaan EBT ini, kami DPRD Provinsi Bali sangat merekomendasikan agar Pemerintah Pusat membantu sepenuhnya Pemerintah Daerah dalam hal pendanaan, perizinan, penatalaksanaan, monitoring dan evaluasi sampai dengan pemeliharaan dan operasional (maintenance and operational system). Karena RUED-P ini sebenarnya juga adalah turunan dari RUEN, sukses daerah pada saatnya akan menjadi sukses nasional juga dengan program-program dan target-targetnya. Kendala keterbatasan pembiayaan, investasi sistem dan peralatan, termasuk kehandalan SDM, adalah masalah utama dalam niat baik daerah, untuk mendukung penuh menyelenggarakan pengelolaan sumber EBT ini,” katanya.
Salah satu contoh terkait dengan permasalahan pemanfaatan potensi EBT, kata dia, yaitu pada pengembangan panas bumi (geothermal). Dikatakan, potensi panas bumi di Indonesia adalah yang terbesar di dunia dan telah dikembangkan sejak tahun 1972. Namun, pemanfaatannya belum optimal karena seringkali terkendala dengan izin khusus, isu kelestarian hutan dan daerah tangkapan hujan (catchment area). Hal itu disebabkan lokasi sumber panas bumi di Indonesia umumnya terletak di kawasan hutan lindung dan hutan konservasi.
Kendala lainnya, tambah Diah, yaitu risiko eksplorasi panas bumi yang masih tinggi, rasio keberhasilan pengeboran (drilling success ratio) yang masih rendah, dan tingginya impor komponen fabrikasi, khususnya komponen pembangkit dan fasilitas produksi.
Ia juga mengingatkan, banyak pelajaran yang bisa ditarik dari beberapa proyek percontohan (pilot projecting) yang sudah pernah ada di Bali, seperti PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) di Kayubihi-Bangli, PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu/ Angin) di Nusa Penida-Klungkung dan PLTPB (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) di Bedugul-Tabanan. Menurutnya, semuanya bisa dilakukan studi, evaluasi dan kajian lebih dalam lagi, agar kelak tidak terulang lagi kekeliruan yang sama. “Termasuk disiapkan suatu “rem darurat” atau yang dalam strategic planning dikenal sebagai exit strategy, jikalau semua situasi dan kondisi menjadi di luar perhitungan,” tegasnya.
Sementara dengan keterbatasan sumber daya pembangkit fosil (gas, minyak bumi dan batubara), serta potensi pengembangan sumber energi baru terbarukan (EBT) yang sangat banyak, jelas Diah, maka tepat arah Provinsi Bali yang akan mengupayakan pasokan listriknya dan sumber energi lainnya, dipenuhi dari pembangkit yang ada di Bali secara mandiri, atau “Bali Mandiri Energi”. Sedangkan pasokan listrik dari Pulau Jawa melalui grid Jamali atau Jawa-Bali Connection(JBC) hanya berfungsi sebagai cadangan bersama (reserve sharing) untuk sistem di Jawa dan sistem di Bali. (bs)