AKOMODASI PARIWISATA, MAL DAN INDUSTRI HARUS DIARAHKAN GUNAKAN ENERGI TERBARUKAN

DENPASAR – Akomodasi pariwisata, perkantoran, mal atau pusat perbelanjaan, dan industri yang selama ini menggunakan konsumsi listrik dengan kapsitas besar harus segera diarahkan menggunakan energi terbarukan. Dan bagi institusi yang menggunakan energi tenaga surya diberikan apresiasi ataupun insentif sebagai pendorong agar diikuti oleh institusi atau pun para pengusaha lainnya,” kata pembicara Fraksi Nasdem-PSI-Hanura DPRD Bali, I Wayan Arta, saat membacakan pandangan umum fraksinya terhadap Ranperda tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Semesta Berencana Tahun Anggaran 2019 dan Ranperda tentang Rencana Umum Energi daerah Provinsi Bali Tahun 2020-2050 dalam rapat paripurna, Senin (6/7).

Rapat paripurna DPRD Bali, Senin (6/7). Foto: Humas DPRD Bali

Dijelaska, Pemerintah Provinsi Bali juga sudah mengeluarkan Peraturan Gubernur Bali Nomor 45 Tahun 2019 tentang Bali Energi Bersih dan Pergub Bali Nomor 48 Tahun 2019 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik (KBL) Berbasis Baterai. Isu soal energi terbarukan adalah hal yang tak bisa dihindari dan harus dilaksanakan, mengingat kondisi kelistrikan di Bali bisa dikatakan dalam kondisi ”tidak aman.”

Kata dia, berdasarkan data tahun 2019, kapasitas terpasang dari seluruh pembangkit di Bali adalah sebesar 1.440,85 megawatt (MW) dengan rincian: Kabel Laut sebesar 400 MW, PLTU Celukan Bawang sebesar 426 MW, PLTG Pesanggaran 201,60 MW sedangkan PLT EBT sebesar 2,4 MW dan sisanya adalah PLT BBM (Gilimanuk, Pemaron dan Pesanggaran) sebesar 410,85 MW. Sementara Daya Mampu yang dihasilkan sebesar 927,20 MW, mengingat bahwa pembangkit dengan bahan bakar BBM pada posisi standby (tidak dioperasikan, kecuali dalam keadaan darurat). Sedangkan beban puncak tertinggi dicapai sebesar 920 MW, sehingga apabila dibandingkan dengan daya mampu maka kondisi cadangan kelistrikan Bali hanya 0,77%. Ini masuk kategori sangat kritis, mengingat cadangan aman adalah minimal 30 % dari beban puncak.

“Mungkin pada saat pandemi ini kita merasa aman karena penggunaan listrik tidak digunakan maksimal. Namun jika dalam kondisi normal, maka kapasitas listrik di Bali sangat kritis. Bahkan pada 2021, saat pariwisata diperkirakan sudah pulih dari pandemi Covid-19, beban listrik diperkirakan akan mencapai 1.041 megawatt (MW) pada 2021. Dan yang mengkhawatirkan adalah pada tahun 2023, karena beban penggunaan listrik diperkirakan mencapai 1.185 MW. Beban yang meningkat tentu saja harus dibarengi dengan peningkatan kapasitas listrik di Bali,” katanya.

Menurutnya, Bali tidak boleh hanya bergantung dari pasokan listrik dari Jawa, melainkan harus juga mengupayakan secara mandiri. Apalagi sebagaimana diketahui, rencana dari PLN membangun tower kelistrikan yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Bali tidak bisa direalisasikan, dan tetap bergantung pada kabel bawah laut yang memiliki keterbatasan, dan berisiko gangguan. “Oleh karena itu, potensi-potensi tenaga listrik dari dalam Pulau Bali harus dikembangkan. Tenaga listrik yang dimaksudkan ini bisa bersumber dari matahari, angin, panas bumi, biomassa, biogas, sampah di kota/desa, gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut, serta bahan bakar nabati cair ataupun energi lain yang pada pokoknya bersifat ramah lingkungan yang dijiwai oleh filosofi Tri Hita Karana yang bersumber dari nilai-nilai kearifan lokal Pulau Dewata,” ujarnya.

Fraksi Nasdem-PSI-Hanura juga merekomendasikan agar semua izin pembangunan sarana akomodasi, tempat hiburan, pusat perdagangan, dan industri-industri lainnya di Bali yang memerlukan tenaga listrik besar harus diterapkan konsep-konsep ramah lingkungan dan hemat energi. Desain atau tata letak bangunan memanfaatkan sinar matahari secara optimal, penggunaan material bangunan ramah lingkungan, alat kelistrikan dan transportasi dalam gedung yang hemat listrik, juga digunakannya sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap.

Dikatakan, dibandingkan dengan sumber energi terbarukan lainnya, energi tenaga surya ini memang sangat menarik. Karena, Indonesia adalah negara tropis yang mataharinya bersinar sepanjang waktu. Hal inilah yang terasa lebih memudahkan dalam pengimplementasikannya. Dengan pengalaman menjadi pilot project pengembangan Pusat Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kayubihi, Kabupaten Bangli sejak tahun 2013, Fraksi Nasdem-PSI-Hanura meyakini bahwa Bali mampu dan bisa menjadi provinsi ramah energi, ramah lingkungan.

Soal kendaraan bermotor listrik berbasis baterai yang sebelumnya sudah dipayungi Peraturan Gubernur Bali Nomor 48 Tahun 2019, menurut Arta, semakin banyak produsen mengembangkan berbagai produk. Di Bali sendiri sudah ditindaklanjuti oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang menempatkan beberapa titik Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU). Untuk harga kendaraan listrik, khususnya roda dua, sudah mulai dalam jangkauan. Sedangkan roda empat hybrid atau pun yang menggunakan tenaga listrik juga sudah mulai beragam. “Namun dalam catatan kami, para pemilik kendaraan listrik ini belum mendapat insentif berupa keringanan pajak kendaraan bermotor. Sebagai daya tarik awal dan menggalakkan demam kendaraan listrik tersebut, alangkah lebih baiknya ada insentif-insentif agar terjadi gelombang peminat yang lebih besar,” tegasnya. (bs)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *